(email: destika_cahyana@yahoo.com)
Penulis Cerita (Sang Kakak di Tanah Seberang) |
Tapi itu dulu kawan. Saat aku masih berselancar di dunia maya dari sebuah kabupaten
di Jawa Tengah. Di layar monitor di warnet samping sekolah tempatku mengajar,
aku menemukan air sungai musi. Di sana sebuah pemerintah daerah yang dibelah
Sungai Musi, mengumumkan ke segala penjuru negeri: mereka butuh guru tetap.
Tentu sebagai guru honor, aku tertarik dengan tawaran itu.
Disebut manis karena aku menyangka pemerintah daerah itu sangat maju. Ia
sedikit di antara kabupaten di seluruh tanahair yang mengumumkan kebutuhan
pegawainya melalui internet. Kebanyakan daerah lain mengumumkannya lewat koran
lokal.
Disebut manis juga karena dari internet pula aku mendapatkan diriku
bernasib manis. Ya, di sebuah situs pengumuman, aku diterima sebagai pegawai
negeri sipil di tanah yang dilalui Sungai Musi. Aku akan menghampirimu Musi.
Sungai yang sebelumnya hanya kukenal dari buku yang kubaca selagi bocah. Manis
bukan kawan? Di Jawa, meski aku menyandang sebutan guru teladan, tetap saja aku
hanya honorer yang pahit.
***
Lima tahun lalu aku masih berstatus sebagai mahasiswi di sebuah fakultas
keguruan di perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Di kampus aku giat mengikuti
beragam kegiatan intra dan ekstra kampus. Kala itu masa yang paling mengesankan
ialah saat aku bergiat di sebuah organisasi mahasiswa keagamaan kultural.
Meski banyak teman menyebutku tidak gaul karena bergabung di organisasi
itu, aku tak peduli. Perempuan di organisasi itu kerap disebut mahasiswi
kerudungan, yang pria disebut mahasiswa sarungan. Ah, teman-temanku ada-ada
saja. Mereka pasti tak tahu apa yang kami lakukan.
Sejujurnya aku bahagia di sana. Aku mengenal persaudaraan seagama, sebangsa,
dan sesama umat manusia di sana. Aku juga mengetahui banyak kakak-kakakku yang
dianggap tradisional ternyata berkuliah di luar negeri: dari Timur Tengah
hingga negeri Paman Sam.
Mereka kakak-kakakku giat belajar. Obsesi mereka mematahkan anggapan sarungan
yang melekat di tubuh. Sepulang dari luar negeri mereka kerap datang berdiskusi
dengan kami. Dari diskusi itulah kuketahui mereka pintar, kritis, modern, dan
penuh ide gila. Sebutan kaum sarungan yang hanya manut tak tergambar sama
sekali.
Yang jelas mereka pandai mengawinkan budaya lokal di tanahair dengan budaya
maju di barat juga di timur. Mereka tak mentah-mentah menerima yang dari timur
atau dari barat. Ciri khas mereka yang utama ialah lembut dan toleransi pada
yang beda, bahkan melindungi yang minoritas.
Aku iri pada mereka. Hingga kemudian aku lulus dan mesti kembali ke sebuah
kota di kaki Gunung Muria sebagai guru honor. Beragam pengalaman di organisasi
dan diskusi dengan kakak di organisasi dulu yang menuntunku menjadi guru honor
teladan di kabupaten. Aku berhasil mengawinkan teknik belajar quantum ala
Amerika untuk anak desa.
Di kota sendiri teknik itu hanya dipakai di sekolah internasional dan
kursus yang mahal. Kadang aku bangga. Tapi, tetap saja, status honor ternyata
pahit kawan. Hidup di Daerah Aliran Sungai Musi sebagai PNS tentu lebih manis
bukan? Itu pikirku ketika itu.
***
Di sini, di daratan yang mesti ditempuh 4,5 jam perjalanan speedboat dari bawah Jembatan Ampera, Palembang, aku ditugaskan. Setiap hari hanya ada 1 speedboat berkapasitas 12 orang yang menghubungkan daratan ini dengan pusat kota. Mereka menyebut daratan ini sebagai jalur.
Nama daerah disebut dengan angka sesuai dengan penomoran jalur-jalur yang
dulu dibuat ketika program transmigrasi dicanangkan. Listrik asal mesin diesel
hanya menerangi malam sehabis magrib hingga selepas isya. Selebihnya daratan
ini ditemani lampu petromak atau gelap gulita.
Sekolah tempatku mengajar hanya satu-satunya di kecamatan. Dengan guru seadanya
yang merangkap-rangkap mata pelajaran. Konon, pernah ada 10 guru pegawai negeri
sipil diangkat 3 tahun silam secara berbarengan. Namun, tak sampai setahun,
lambat laun tinggal 1 yang tersisa dari angkatan mereka. Entah karena apa.
Ah, aku seperti terlempar dari kaki Gunung Muria yang pahit ke Tanah Musi yang
kukira manis. Jalur-jalur sungai yang membelah daratan kami mirip Venesia yang
ditelantarkan. Atau lebih tepatnya embrio Venesia sebelum menjadi kota sungai
terindah di dunia. Aku tak tahu yang mana yang tepat.
Siswanya ... |
Satu-satunya hal istimewa yang kurasakan saat ini hanya satu. Aku menemukan
seorang perempuan muda guru fisika. Ia 1 guru yang tersisa dari 10 orang yang
datang 2 tahun silam. Ya, guru muda itu masih bertahan mengajar di jalur.
Bahkan setiap akhir pekan ia kembali ke Palembang untuk menyelesaikan gelar
master.
Di kepala perempuan muda itu ada mimpi menjadikan anak-anak daratan itu
mengubah jalur menjadi Venesia di kemudian hari. Lagi-lagi aku iri pada dia,
seperti aku iri pada kakak-kakakku dulu kala masih di bangku kuliah. Tapi
setidaknya, air cokelat di Sungai Musi kembali manis kawan. Bila tak percaya,
cicipilah!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar