Translate

Jumat, 11 Desember 2009

PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

dipresentasikan di PPs Universitas Sriwijaya 9 Oktober 2009

Pengenalan Beberapa Media Pembelajaran
Pada dasarnya media yang banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah media komunikasi. Oleh karena itu dalam pembahasan taksonomi ini akan digunakan taksonomi yang dikemukan oleh Haney dan Ulmer (1981).

Adanya beberapa cara yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian ini. Salah satu cara diantaranya ialah dengan menekan pada teknik yang dipergunakan dalam pembuatan media tersebut. Sebagai contoh, seperti gambar, fotografi, rekaman audio, dan sebagainya. Ada pula yang dilihat dari cara yang dipergunakan untuk mengirimkan pesan. Contoh, ada penyampaian yang disampaikan melalui siaran televisi dan melalui optik. Berbagi bentuk presentasi media yang kita terima, membuat kita sadar bahwa kita menerima informasi dalam bentuk tertentu. Pesan-pesan tersebut dapat berupa bahan cetakan, bunyi, bahan visual, gerakan, atau kombinasi dari berbagai bentuk informasi ini.

Masih banyak ciri yang membedakan media yang satu dengan yang lain, sehingga tidaklah mudah untuk menyusun klasifikasi tunggal yang mencakup semua jenis media. Faktor lain yang juga mempersulit klasifikasi ini ialah untuk menentukan apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk media. Sebagai contoh, beberapa ahli membedakan antara media komunikasi dan alat bantu komunikasi. Yang menjadi dasar utama dari pembedaan ini ialah apakah suatu sarana komunikasi dapat menyampaikan program secara lengkap atau tidak. Berdasarkan pembedaan ini, film dapat digolongkan sebagai media, karena film dapat menyampaikan pesan yang lengkap selama waktu putarnya. Sedangkan overhead transparansi (OHT) digolongkan sebagai alat bantu saja, karena OHT tidak dapat berdiri sendiri. Hal tersebut hanya dapat digunakan oleh instruktur untuk membantu menerangkan pembelajarannya.walaupun pendapat ini, tetapi di sini kita akan membahas media dalam perspektif yang lebih luas, yaitu semua alat atau bahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran, sesuai dengan pengertian media pembelajaran sebelumnya (di bagian depan).

Selain alat-alat pembelajaran yang sederhana, masih ada beberapa teknik atau sistem pembelajaran yang sedemikian kompleks, sehingga jauh melebihi pengertian media yang biasa kita gunakan. Sebagai contoh, simulator, pengajaran dengan bantuan komputer, mesin pembelajaran, dan permainan pendidikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan suatu sistem klasifikas yang dapat mencakup berbagai macam sarana komunikasi, kita harus menggunakan pandangan yang luas mengenai pengertian media, yaitu dengan memasukkan segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh seorang instruktur untuk meningkatkan pembelajaran. Kita ingin mengembangkan pandangan bahwa tidak ada satu cara pun yang baku dalam pembelajaran dan ingin mendorong para instruktur agar menganggap berbagai bentuk media itu sebagai pilihan-pilihan untuk digunakan dalam meningkatkan kegiatan belajar. Memang, seringkali media hanya digunakan untuk membantu menghidupkan keterangan yang diberikan oleh seorang instruktur. Akan tetapi diharapkan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, pemanfaatan media oleh instruktur/guru tersebut akan lebih imajinatif dan lebih bermanfaat bagi para siswa.

Untuk keperluan pengklasifikasian media itu, pertama-tama harus diketahui “Sifat umum apa yang dimiliki oleh berbagai media seperti buku, slide, rekamam audio, yang orang mengenali benda-benda tersebut sebagai bentuk media?” jawabannya terletak pada fungsinya, yaitu apa yang dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Semuanya menyampaikan pesan yang disusun ke dalam bentuk informasi audio visual yang dasar ataupun lebih. Menurut Rudy Brezt ada lima bentuk dasar informasi, yaitu gambar, cetakan, grafis garis, suara, dan gerakan.

Karena masing-masing mewakili bentuk penyampaian informasi yang berbeda-beda, kita akan menyebutnya sebagai bentuk penyajian. Istilah ini diberikan oleh Donald T. Tosti dan John R. Ball. Karena itu semua media yang menyampaikan pesan melalui bentuk-bentuk ini akan disebut media penyaji. Media penyaji meliputi sebagian besar media yang populer, dan merupakan salah satu dari kategori pokok media yang sedang kita bahas. Disamping itu masih ada dua kategori pokok lain untuk menjaring semua sarana yang bermanfaat bagi seorang instruktur, yang akan dijelaskan kemudian.

Menurut bentuk informasi yang digunakan, kita dapat memisahkan dan mengklasifikasi media penyaji dalam lima kelompok besar, yaitu media visual diam, media visual gerak, media audio, media audio visual diam, dan media audio visual gerak. Kemudian dapat kita teliti media ini untuk membedakan proses yang dipakai untuk menyajikan pesan, bagaimana suara dan atau gambar itu kita terima, apakah melaui penglihatan langsung, proyeksi optik, proyeksi elektronik atau telekomunikasi. Kita akan keempat cara ini sebagai cara penyajian dari sebuah media.

Dengan menganalisis media melaui bentuk penyajian dan cara penyajiannya, kita mendapat suatu format kalsifikasi yang meliputi tujuh kelompok media penyaji, yaitu (a) kelompok kesatu; grafis, bahan cetak, dan gambar diam, (b) kelompok kedua; media proyeksi diam, (c) kelompok ketiga; media audio, (d) kelompok keempat; media audio, (e) kelompok kelima; media gambar hidup/film, (f) kelompok keenam; media televisi, dan (g) kelompok ketujuh; multi media.

Perlu kita ingat bahwa masih ada media lain yang tidak termasuk media penyaji, yaitu media objek dan media interaktif. Kedua media ini akan dibicarakan secara khusus setelah selesai membahas masing-masing ketujuh kelompok media penyaji.

Kelompok Kesatu: Media Grafis, Bahan Cetak dan Gambar Diam
Media Grafis
Media grafis adalah media visual yang menyajikan fakta, ide atau gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka-angka, dan simbol/gambar. Grafis biasanya digunakan untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, dan mengilustrasikan fakta-fakta sehingga menarik dan diingat orang. Yang termasuk media grafis antara lain :
  1. Grafik, yaitu penyajian data berangka memalui perpaduan antara angka, garis, dan simbol.
  2. Diagram, yaitu gambaran yang sederhana yang dirancang untuk memperlihatkan hubungan timbal balik yang biasanya disajikan melalui garis-garis simbol.
  3. Bagan, yaitu perpaduan sajian kata-kata, garis, dan simbol yang merupakan ringkasan suatu proses, perkembangan, atau hubungan-hubungan penting.
  4. Sketsa, yaitu gambar yang sederhana atau draft kasar yang melukiskan bagian-bagian pokok dari suatu bentuk gambar.
  5. Poster, yaitu sajian kombinasi visual yang jelas, menyolok, dan menarik dengan maksud untuk menarik perhatian orang yang lewat.
  6. Papan Flanel, yaitu papan yang berlapis kain flanel untuk menyajikan gambar atau kata-kata yang mudah ditempel dan mudah pula dilepas.
  7. Bulletin Board, yaitu papan biasa tanpa dilapisi kain flanel. Gambar-gambar atau tulisan-tulisan biasanya langsung ditempelkan dengan menggunakan lem atau alat penempel lainnya.
Kelebihan Media Grafis
  1. Dapat mempermudah dan mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan.
  2. Dapat dilengkapi dengan warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa.
  3. Pembuatan mudah dan harganya murah.
Kelemahan Media Grafis
  1. Membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya, terutama untuk grafis yang lebih kompleks.
  2. Penyajian pesan hanya berupa unsur visual.
Media Bahan Cetak
Media bahan cetak adalah media visualyang pembuatannya melalui proses pencetakan/printing atau offset. Media bahan cetak ini menyajikan pesannya melalui huruf dan gambar-gambar yang diilustarikan untuk lebih memperjelas pesan atau informasi yang disajikan. Jenis media bahan cetak ini diantaranya adalah :
  1. Buku Teks, yaitu buku tentang suatu bidang studi atau ilmu tertentu yang disusun untuk mempermudah para guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Penyusunan buku teks ini disesuaikan dengan urutan (sequence) dan ruang lingkup (scope) GBPP tiap bidang studi tertentu.
  2. Modul, yaitu suatu paket programyang disusun dalam bentuk satuan tertentu dan didesain sedemikian rupaguna kepentingan belajar siswa. Satu paket modul biasanya memiliki komponen petunjuk guru, lembaran kegiatan siswa, lembaran kerja siswa, kunci lembaran kerja, lembaran tes, dan kunci lembaran tes.
  3. Bahan Pengajaran Terprogram, yaitu paket program pengajaran individual, hampir sama dengan modul. Perbedaaannya dengan modul, bahan pengajaran terprogram ini disusun dalam topik-topik kecil untuk setiap bingkai/halamannya. Satu bingkai biasanya berisi informasi yang merupakan bahan ajaran, pertanyaan, dan balikan/respon dari pertanyaan bingkai lain.
Kelebihan Media Bahan Cetak
  1. Dapat menyajikan pesan atau informasi dalam jumlah yang banyak.
  2. Pesan atau informasi dapat dipelajari oleh siswa sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kecepatan masing-masing.
  3. Dapat dipelajari kapan dan dimana saja karena mudah dibawa.
  4. Akan lebih menarik apabila dilengkapi dengan gambar dan warna.
  5. Perbaikan/revisi mudah dilakukan.
Kelemahan Media Bahan Cetak
  1. Proses pembuatan membutuhkan waktu yang cukup lama.
  2. Bahan cetak tebal mungkin dapat membosankan dan mematikan minat siswa untuk membacanya.
  3. Apabila jilid dan kertasnya jelek, bahan cetak akan mudah rusak dan sobek.
Media Gambar Diam
Media gambar diam adalah media visual yang berupa gambar yang dihasilkan melalui proses fotografi. Jenis media gambar ini adalah foto.

Kelebihan Media Gambar Diam
  1. Dibandingkan dengan grafis, media foto ini lebih konkret.
  2. Dapat menunjukkan perbandingan yang tepat dari objek yang sebenarnya.
  3. Pembuatannya mudah dan harganya murah.
Kelemahan Media Gambar Diam
  1. Biasanya ukurannya terbatas sehingga kurang efektif untuk pembelajaran kelompok besar.
  2. Perbandingan yang kurang tepat dari satu objek akan menimbulkan kesalahan persepsi.
Kelompok Kedua: Media Proyeksi Diam
Media proyeksi diam adalah media visual yang diproyeksikan atau media yang memproyeksikan pesan, dimana hasil proyeksinya tidakbergerak atau memiliki sedikit unsur gerakan. Jenis media ini diantaranya : OHP/OHT, Opaque Projector, Slide, dan Filmstrip.

Media OHP dan OHT
OHT (Overhead Transparancy) adalah media visual yang diproyeksikan melalui alat proyeksi yang disebut OHP (Overhead Projector). OHT terbuat dari bahan transparan yang biasanya berukuran 8,5 x 11 inci. Ada 3 jenis bahan yang dapat digunakan sebagai OHT, yaitu :
  1. Write on film (plastik transparansi), yaitu jenis transparansi yang dapat ditulisi atau digambari secara langsung dengan menggunakan spidol.
  2. PPC transparency film (PPC= Plain Paper Copier), yaitu jenis transparansi yang dapat diberi tulisan atau gambar dengan menggunakan mesin photocopy.
  3. Infrared transparency film, yaitu jenis transparansi yang dapat diberi tulisan atau gambar dengan menggunakan mesin thermofax.
OHP (Overhead Projector) adalah media yang digunakan untuk memproyeksikan program-program transparansi pada sebuah layar. Biasanya alat ini digunakan untuk menggantikan papan tulis. Ada dua jenis model OHP, yaitu :
  1. OHP Classroom, yaitu OHP yang dirancang dan dibuat secara permanen untuk disimpan di suatu kelas atau ruangan. Biasanya memiliki bobot yang lebih dibandingkan dengan OHP jenis portable.
  2. OHP Portable, yaitu OHP yang dirancang agar mudah dibawa kemana-mana, sehingga ukuran dan bobot beratnya lebih ringkas.
Kelebihan Media OHT/OHP
  1. Dapat digunakan untuk menyajikan pesan di semua ukuran ruangan kelas.
  2. Menarik, karena memungkinkan penyajian yang variatif dan disertai dengan warna-warna yang menarik.
  3. Tatap muka dengan siswa selalu terjaga dan memungkinkan siswa untuk mencatat hal-hal yang penting.
  4. Tidak memerlukan operator secara khusus dan tidak pula memerlukan penggelapan ruangan.
  5. Dapat menyajikan pesan yang banyak dalam waktu yang relatif singkat.
  6. Program OHT dapat digunakan berulang-ulang.
Kelemahan Media OHT/OHP
  1. Memerlukan perencanaan yang matang dalam pembuatan dan penyajiannya.
  2. OHT dan OHP merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, karena sebuah gambar dalam kertas biasa tidak bisa diproyeksikan melalui OHP.
  3. Urutan OHT mudah kacau, karena merupakan urutan yang lepas.
Media Opaque Projektor
Opaque Projector atau proyektor taktembus pandang adalah media yang digunakan untuk memproyeksikan bahan dan benda-benda yang tidak tembus pandang,seperti buku, foto, dan model-model baik yang dua dimensi maupun yang tiga dimensi. Berbeda dengan OHP, opaque projector ini memerlukan transparansi, tapi memerlukan penggelapan ruangan. Opaque projector biasanya dapat digunakan untuk memproyeksikan film bingkai/slide akan tetapi tidak dilengkapi dengan tape recorder.

Kelebihan dan kelemahan media opaque projector ini hampir mirip dengan kelemahan media OHP dan Media Slide. Oleh karena opaque projector dengan segala karakteristiknya dapat berfungsi sebagai OHP dan Slide Projector.

Media Slide
Media Slide atau film bingkai adalah media visual yang diproyeksikan melalui alat yang disebut dengan proyektor slide. Slide atau film bingkai terbuat dari film positif yang kemudian diberi bingkai yang terbuat dari karton atau plastik. Filmpositif yang biasa digunakan untuk film slide adalah film positif yang ukurannya 35 mm dengan ukuran bingkai 2 x 2 inchi. Sebuah program slide biasanya terdiri atas beberapa bingkai yang banyaknya tergantung pada bahan/materi yang akan disampaikan.

Kelebihan Media Slide
  1. Membantu menimbulkan pengertian dan ingatan yang kuat pada pesan yang disampaikan dan dapat dipadukan dengan unsur suara.
  2. Merangsang minat dan perhatian siswa dengan warna dan gambar yang kongkrit.
  3. Program slide mudah direvisi sesuai dengan kebutuhan, karena filmnya terpisah-pisah.
  4. Penyimpanannya mudah karena ukurannya kecil.
Kelemahan Media Slide
  1. Memerlukan penggelapan ruangan untuk memproyeksikannya.
  2. Pembuatannya memerlukan waktu yang cukup lama, jika program yang dibuatnya cukup panjang.
  3. Memerlukan biaya yang boleh dikatakan besar.
  4. Hanya dapat menyajikan gambar yang diam (geraknya terbatas walaupun dengan menggunakan lebih dari sebuah proyektor.
Media Filmstrip
Filmstrip atau film rangkai atau film gelang adalah media visual proyeksi diam, yang pada dasarnya hampir sama dengan media slide. Hanya filstrip ini terdiri atas beberapa film yang nerupakan satu kesatuan (merupakan gelang, dimana antara ujung yang satu dengan ujung yang lainnya bersatu). Jumlah frame atau gambar dari suatu filmstrip adayang berjumlah 50 buah dan ada pula yang berjumlah 75 buah dengan panjang 100 sampai dengan 130 cm.

Kelebihan filmstrip dibanding film slide adalah media filmstrip mudah penggandaannya karena tidak memerlukan bingkai, juga frame-frame filmstrip tidak akan tertukar karena merupakan satu kesatuan. Akan tetapi pengeditan dan perbaikan/revisi filmstrip realtif agaksukar, karena harus dilakukan di laboratorium khusus.

Kelompok Ketiga: Media Audio
Media audio adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan atau informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif yang berupa kata-kata, musik, dan sound effect. Jenis media audio ini diantaranya: radio dan alat perekam pita magnetik.

Media Radio
Radio adalah media audio uang penyampaian pesannya dilakukan melalui pancaran gelombang elektromagnetik dari suatu pemancar. Pemberi pesan (penyiar) secara langsung dapat mengkomunikasikan pesan atau informasi melalui suatu alat (microfon) yang kemudian diolah dan dipancarkan ke segenap penjuru melalui gelombang elektromagnetik dan penerima pesan (pendengar) menerima pesan atau informasi tersebut dari pesawat radio di rumah-rumah atau para siswa mendengarkannya di kelas-kelas.

Kelebihan Media Radio
  1. Memiliki variasi program yang cukup banyak.
  2. Sifatnya mobile, karena mudah dipindah-pindah tempat dan gelombangnya.
  3. baik untuk mengembangkan imajinasi siswa.
  4. Dapat lebih memusatkan perhatian siswa terhadap kata, kalimat atau musik, sehingga sangat cocok digunakan untuk pengajaran bahasa.
  5. Jangkauannya sangat luas, sehingga dapat di dengar oleh massa yang banyak.
  6. Harganya relatif murah.
Kelemahan Media Radio
  1. Sifat komunikasinya hanya satu arah (one way communication).
  2. Jika siarannya monoton akan lebih cepat membosankan siswa untuk mendengarkannya.
  3. Program siarannya selintas, sehingga tidak bisa diulang-ulang dan disesuaikan dengan kemampuan belajar siswa secara individual.
Media Alat Perekam Pita Magnetik
Alat perekam pita magnetik atau kaset tape recorder adalah media yang menyajikan pesannya melalui proses perekaman kaset audio. Tidak seperti radio yang menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai alat pemancarannya.

Kelebihan Media Alat Perekam Pita Magnetik
  1. Pita rekaman dapat diputar berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan siswa.
  2. Rekaman dapat di hapus dan digunakan kembali.
  3. Mengembangkan daya imajinasi siswa.
  4. Sangat efektif untuk pembelajaran bahasa.
  5. Penggandaan programnya sangat mudah.
Kelemahan Media Alat Perekam Pita Magnetik
  1. Daya jangkauannya terbatas.
  2. Biaya penggandaaan alatnya relatif lebih mahaldibanding radio.
Kelompok Keempat: Media Audio Visual Diam
Media audio visual diam adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indera pendengaran dan indera pengelihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau sedikit memiliki unsur gerak. Jenis media ini antara lain media sound slide (slide suara), filmstrip bersuara, dan halaman bersuara. Kelebihan dan kelemahan media ini tidak jauh berbeda dengan media proyeksi diam. Perbedaaannya adalah adanya aspek suara pada media audiovisual diam.

Kelompok Kelima: Film (Motion Pictures)
Film disebut juga gambar hidup (motion pictures), yaitu serangkaian gambar diam (still pictures) yang meluncur secara cepat dan diproyeksikan sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak. Film merupakan media yang menyajikan pesan audiovisual dan gerak. Oleh karenanya, film memberikan kesan yang impresif bagi pemirsanya.
Ada beberapa jenis film, diantaranya film bisu, film bersuara, dan film gelang yang ujungnya saling bersambungan dan diproyeksikan tak memerlukan penggelapan ruangan.

Kelebihan Media Film
  1. Memberikan pesan yang dapat diterima secara lebih merata oleh siswa.
  2. Sangat bagus untuk menerangkan suatu proses.
  3. Mengatasi keterbatasan ruang dan waktu.
  4. Lebih realitis, dapat diulang-ulang dan dihentikan sesuai dengan kebutuhan.
  5. Memberikan kesan yang mendalam, yang dapat mempengaruhi sikap siswa.
Kelemahan Media Film
  1. Harga produksinya cukup mahal.
  2. Pembuatannya memerlukan banyak waktu dan tenaga.
  3. Memerlukan operator khusus untuk mengoperasikannya.
  4. Memerlukan penggelapan ruangan.
Kelompok Keenam: Televisi
Televisi adalah media yang dapat menampilkan pesan secara audiovisual dan gerak (sama dengan film). Jenis media televisi diantaranya: televisi terbuka (open boardcast television), televisi siaran terbatas/TVST (Cole Circuit Televirion/CCTV), dan video-cassette recorder (VCR).

Media Televisi Terbuka
Media televisi terbuka adalah meliputi audio-visual yang penyampaian pesannya melalui pancaran gelombang elektromagnetik dari satu stasiun, kemudian pesan diterima oleh pemirsa melalui pesawat televisi.

Kelebihan Media Televisi Terbuka
  1. Informasi/pesan yang disajikan lebih aktual
  2. Jangkauan penyebaran sangat luas.
  3. Memberikan pesan yang dapat diterima secara lebih merata oleh siswa.
  4. Sangat bagus untuk menerangkan suatu proses.
  5. Mengatasi keterbatasan ruang dan waktu.
  6. Memberikan kesan yang mendalam, yang dapat mempengaruhi sikap siswa.
Kelemahan Media Televisi Terbuka
  1. Programnya tidak dapat diulang-ulang sesuai kebutuhan.
  2. Sifatnya komunikasinya hanya satu arah.
  3. Gambarnya relatif kecil.
  4. Kadangkala terjadi distorsi gambar dan warna akibat kerusakan atau gangguan magnetik.
Media Televisi Siaran Terbatas (TVST)
TVST atau CCTV adalah media audiovisual gerak yang penyampaian pesannya didistribusikan melalui kabel (bukan TV kabel). Dengan perkataan lain, kamera televisi mengambil suatu objek di studio,misalnya kabel-kabel ke pesawat televisi yang ada di ruangan-ruangan kelas. Kelebihan televisi siaran terbatas ini dibandingkan dengan televisi terbuka diantaranya adalah komunikasi dapat dilakukan secara dua arah (hubungan antara studio dan kelas dilakukan melalui intercom), kebutuhan siswa dapat lebih diperhatikan dan tekontrol. Sedangkan kelemahan adalah jangkauannya relatif terbatas.

Media Video Cassette Recorder (VCR)
Berbeda dengan media film, media VCR perekamannya dilakukan dengan menggunakan kaset video, dan penayangannya melalui pesawat televisi; sedangkan media film, perekaman gambarnya menggunakan film selluloid yang positif dan gambarnya diproyeksikkan melalui proyeksi ke layar. Secara umum, kelebihan VCR sama dengan kelebihan yang dimiliki oleh media televisi terbuka. Selain itu, media VCR ini memiliki kelebihan lainnya yaitu programnya dapat diulang-ulang. Akan tetapi kelemahannya adalah jangkauannya terbatas.

Kelompok Ketujuh: Multi Media
Pengertian multi media sering dikacaukan dengan pengertian multi image. Multi media merupakan suatu sistem penyampaian dengan menggunakan berbagai jenis bahan belajar yang membentuk suatu unit atau paket. Contohnya suatu modul belajar yang terdiri atas bahan cetak, bahan audio, dan bahan audiovisual. Sedangkan multi image merupakan gabungan dari beberapa jenis proyeksi visual yang digabungkan lagi dengan komponen audio yang kuat, sehingga dapat diselenggarakan pertunjukkan besar yang cocok untuk penyajian di suatu auditorium yang luas.

Kelebihan Multi Media
  1. Siswa memiliki pengalaman yang beragam dari segala media.
  2. Dapat menghilangkan kebosanan siswa karena media yang digunakan lebih bervariasi.
  3. Sangat baik untuk kegiatan belajar mandiri.
Kelemahan Multi Media
  1. Biayanya cukup mahal.
  2. Memerlukan perencanaan yang matang dan tenaga yang profesional.
Media Objek
Media objek merupakan media tiga dimensi yang menyampaikan informasi tidak dalam bentuk penyajian, melainkan melalui ciri fisiknya sendiri, seperti ukurannya, bentuknya, beratnya, susunannya, warnannya, fungsinya, dan sebagainya.

Media objek ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu media objek sebenarnya dan media objek pengganti. Media objek sebenarnya dibagi dua jenis, yaitu media objek alami dan media objek buatan. Media objek alami dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu objek alami yang hidup dan objek alami yang tidak hidup. Sebagai contoh objek alalmi yang hidup adalah ikan, burung, elang, singa, dan sebagainya. Sedangkan objek alami yang tidak hidup adalah batu-batuan, kayu, air, dan sebagainya.objek buatan, yaitu buatan manusia, contohnya gedung, mainan, jaringan, transportasi dan sebagainya.

Media cetak kelompok kedua terdiri atas benda-benda tiruan yang dibuat untuk mengganti benda-benda yang sebenarnya. Objek-objek pengganti dikenal dengan sebutan replika, model, dan benda tiruan. Replika dapat didefinisikan sebagai reproduksi statis dari suatu objek dengan ukuran yang sama dengan benda yang sebenarnya. Model merupakan sebuah reproduksi yang kelihatannya sama, tapi biasanya diperkecil atau diperbesar dalam skala tertentu. Bendatiruan ada dua macam, yaitu pertama merupakan bangunan yang dibuat kurang lebih meyerupai suatu benda yang besar, misalnya bagian dari sebuah kapal terbang (sayap). Bentuk benda tiruan yang kedua ialah bentuk yang menggambarkan mekanisasi kerja suatu benda, misalnya sistem pembakaran automobil.

Media Interaktif
Karakteristik terpenting kelompok media ini adalah bahwa siswa tidak hanya memperhatikan media atau objek saja, melainkan juga dituntut untuk berinteraksi selama mengikuti pembelajaran. Sedikitnya ada tiga macam interaksi, yaitu:
  1. Interaksi yang pertama ialah yang menunjukkan siswa berinteraksi dengan sebuah program, misalnya siswa diminta mengisi blanko pada bahan belajar terprogram.
  2. Bentuk Interaksi yang kedua ialah siswa berinteraksi dengan mesin, misalnya mesin pembelajaran, simulator, laboratorium bahasa, komputer, atau kombinasi diantaranya yang berbentuk video interaktif.
  3. Bentuk Interaktif ketiga ialah mengtur interaksi antara siswa secara teratur tapi tidak terprogram; sebagai contoh dapat dilihat pada berbagai permainan pendidikan atau simulasi yang melibatkan siswa dalam kegiatan atau masalah, yang mengharuskan mereka untuk membalas serangan lawan atau kerjasama dengan teman seregu dalam memecahkan masalah.
Dalam hal ini siswa harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang timbul karena tidak ada batasan yang kaku mengenai jawaban yang benar. Jadi permainan pendidikan dan simulasi yang berorientasikan pada masalah memiliki potensi untuk memberikan pengalaman belajar yang merangsang minat dan realistis. Oleh karena itu, guru menganggapnya sebagai sumber terbaik dalam urusan media komunikasi.

Computer Based Tarining (CBT)
Kelebihan Computer Based Training (CBT)
  1. Tampilannya bisa menghasilkan kombinasi antara tulisan (teks), suara (audio), gambar (video), serta animasi.
  2. Dapat mengakses informsi secara instan dari manapun yang dicakup dari compact dist tersebut.
  3. Menghasilkan gambar yang lebih jelas.
  4. Program dan sistem computer based training (CBT) yang lebih canggih lebih memungkinkan pembelajaran mengakses lebih banyak, bukan hanya satu macam pilihan seperti pada audiotape atau videotape.
  5. Menyediakan fasilitas akses informasi yang lebih banyak.
  6. Dapat disesuaikan dengan motivasi, kemampuan dan kecepatan pembelajaran.
  7. Sebagai guru yang sabar.
  8. Mengurangi kekhawatiran pembelajaran jika kurang paham.
Kelemahan Computer Based Training (CBT)
  1. Kelemahan mendasar dari penggunaan program ini adalah tidak adanya interaksi antarmanusia.
  2. Memerlukan biaya mahal.
Optimalisasi Computer Based Training (CBT)
  1. Kemahiran mengoperasikan peralatan komputer merupakan syarat utama.
  2. Bila ingin mengoperasikan, perhatikan terlebih dahulu mekanismenya.
  3. Pelatihan Berbasis Web.
Web Based Tarining (WBT)
Kelebihan Web Based Training (WBT)
  1. Mengkombinasikan kelebihan video, kecepatan komputer, dan akses internet.
  2. Mekanisme kerja program ini mampu menyesuaikan dengan semua gaya belajar.
  3. Memungkinkan bagi pembelajar untuk aktif berpartisipasi.
  4. Memungkinkan akses ke materi/subyek yang diinginkan bagi banyak sekali pembelajar di tempat yang berbeda.
  5. Pembelajar dapat berhubungan dengan guru/instruktur, demikian sebaliknya dimanapun mereka berbeda.
Kelemahan Web Based Training (WBT)
  1. Tidak terjadi temu muka antara guru/instruktur dengan pembelajar.
  2. Perlu biaya mahal untuk melengkapi peralatan.
Optimalisasi Web Based Training (WBT)
  1. Kemahiran pembelajar mengoperasikan komputer merupakan syarat utama.
  2. Web Based Training (WBT) akan memberikan hasil yang optimal apabila dikombinasikan dengan buku, video dan diskusi-dikusi di kelas.
  3. Internet.
Internet
Kelebihan Internet
  1. Memungkinkan akses informasi ke banyak narasumber.
  2. Hampir semua tema dapat diperoleh dari Net.
  3. Bisa menjelajah dunia dari rumah, sekolah, kampus, kantor, dan perusahaan.
  4. Adanya fasilitas untuk berintarksi dengan orang lain dari seluruh penjuru dunia yang tertarik pada tema yang sama.
  5. Merupakan komunikasi dua arah, tanya jawab, mengobrol, membuat web sendiri, mengirim berita kemana saja.
Kelemahan Internet
  1. Biayanya mahal, karena untuk mengoperasikannya membutuhkan kelengkapan seperti komputer, modemISP (Internet Service Provider), dan saluran telepon. Namun demikian kalau kita tidak memiliki perangkat tersebut kita bisa datang ke perpustakaan-perpustakaan atau ke tempat penyewaan internet.
  2. Diperlukan kemampuan mengoperasikan komputer, juga kemampuan memilih dari sejumlah pilihan yang semuanya kelihatan menarik bagi kita;
  3. Dibutuhkan ketelitian terhadap informasi yang ada, periksa kebenarannya, sebab tidak semua informasi selalu benar atau baik untuk kita.
Optimalisasi Internet
  1. Sebaiknya kita tetapkan dulu hal-hal yang ingin kita cari, sebelum kita mengoperasikan internet, kecuali kalau memang mempunyai waktu untuk mengadakan penjelajahan.
  2. Untuk penggemar/pengguna internet pemula, agar mendapatkan pengalaman awal, lakukanlah penjelajahan terhadap sesuatu yang bersifat hiburan atau yang menarik motivasi agar semakin mencintai internet.
  3. Bertanyalah terlebih dahulu kepada instruktur sebelum mulai membaca, agar tidak terjadi kekeliruan.
  4. Belilah buku tentang hal tersebut.
Daftar Pustaka
Arsyad, Azhar. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dale, Edgar. 1969. Audiovisual Method in Teaching. New York: Dyden Press.

Heinich, R., et. Al. 1996. Instructional Media and Technologies for Learning. New jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Sadiman, Arief, S., dkk. 2005. Media Pendidikan (Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sabtu, 21 November 2009

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) BERBASIS POTENSI DAERAH

PENDAHULUAN
Kita semua sepakat bahwa krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia (seperti tingginya angka pengangguran, meningkatnya masyarakat miskin, rendahnya daya beli masyarakat, makin maraknya kerusuhan, HIV/AIDS, flu burung, gizi buruk, peringkat korupsi Indonesia di dunia, dan lain-lain) secara substansial diakibatkan mutu sumber daya manusia Indonesia yang masih rendah. Peringkat Human Development Index (dengan kriteria harapan hidup, ketercapaian pendidikan, dan pendapatan asli) Indonesia ada pada posisi 108 (Vietnam 109) dari 177 negara. Peringkat Human Poverty Index (18,5) ada pada posisi 41 dari 102 negara berkembang, yang terburuk adalah Uruguay (3,3) berada pada peringkat pertama. Hasil perhitungan Bank Dunia terbaru (Desember 2006) 49% (108,78 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin

Jika kita telusuri akar penyebabnya, pendidikan menjadi salah satu masalah utama yang harus diselesaikan secara serius. Alur berpikirnya demikian: Jika angka pengangguran tinggi solusinya adalah membuka lapangan kerja; lapangan kerja dibuka dengan cara menciptakan banyak perusahaan atau industri; perusahaan atau industri dibuat karena menciptakan produk (barang dan jasa); produk hanya dapat diciptakan oleh teknologi; teknologi hanya dapat diciptakan oleh manusia yang memiliki pendidikan yang baik dan benar. Oleh sebab itu jika pendidikan dikelola secara baik dan benar maka akan tercipta manusia Indonesia yang mampu menciptakan teknologi yang menjadi dasar pembangunan industri yang berskala nasional dan international. Prosesnya memang memakan waktu panjang dan biaya besar.

Namun jika kita berpikir sesaat dan cepat, untuk mengurangi pengangguran dilakukan dengan cara mendatangkan investor. Investor datang dengan membawa perusahaan, produk, dan teknologi sudah jadi. Produk dan teknologi yang dibawa tidak sejalan dengan kompetensi masyarakat sekitar, maka didatangkanlah SDM dari luar. Tenaga kerja yang terserap hanya untuk tenaga kerja tak terlatih (unskilled). Contohnya, hanya sedikit orang Timika yang bekerja di Freeport. Dan, pembangunan di Timika untuk masyarakat Timika? Investasi yang datang dari luar hendaknya dibarengi dengan pengembangan sumberdaya manusia untuk siap memanfaatkan ivestasi untuk kepentingan seluruh masyarakat.

Sudah menjadi kaidah mutlak bahwa suatu bangsa hanya dapat memperoleh kemajuan dalam berbagai bidang melalui pendidikan. Pendidikan seharusnya dapat mencerdaskan bangsa dalam arti luas. Bangsa yang cerdas dapat menumbuhkembangkan kesejahteraan bagi bangsa itu sendiri. Itu berarti bahwa pendidikan berkontribusi positif terhadap pembangunan kesejahteraan bangsa. Pendidikan harus mampu membentuk sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan karakter yang kuat. Bagaimana jika pendidikan sudah berlangsung sekian lama namun hasilnya kurang memuaskan?

KURIKULUM PENDIDIKAN KITA
Pembangunan pendidikan kita selama ini sepertinya kurang berbasis manusia. Krisis moral yang terjadi juga akibat dari kesalahan dunia pendidikan yang lebih menekankan aspek pengetahuan dan melupakan sikap, nilai, dan perilaku. Pendidikan di sekolah tersampaikan dalam penyajian yang hampa makna. Misi setiap mata pelajaran terselewengkan menjadi penerusan materi (content transmission). Guru hanya menjadi pemberi informasi tentang mata pelajaran di kelas yang de-contextualized. Akibatnya, perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru. Lembaga pendidikan seharusnya bersifat contextualized agar pendidikan harus dapat memberi manfaat langsung kepada peningkatan kualitas masyarakat dalam kehidupan di daerah setempat.

Pendidikan yang selama ini dijalankan bersifat sentralistik. Kebijakan Pusat seragam untuk seluruh wilayah, padahal kebutuhan dan karakteristik daerah sangat beragam. Akibatnya pendidikan pun menghasilkan lulusan sentralistik yang tidak dapat secara langsung dimanfaatkan oleh daerah. Kompetensi lulusan SD, SMP, SMA tidak dapat mengelola potensi yang ada di daerah. Walhasil, berbondong-bondong usia SD-SMP-SMA ke kota untuk bekerja secara apa adanya. Desa/daerah kosong ditinggalkan penghuni produktifnya. Desa kehilangan generasi penerus pembangun daerah. Pembangunan di daerah (desa, kecamatan, kabupaten) mandeg atau berjalan sangat lambat. Dalam hal ini pendidikan menjadi kemubaziran karena tidak berwawasan pembangunan (daerah).

PERLUNYA KURIKULUM BERBASIS DAERAH
UU No: 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan PP No: 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah memberikan banyak ruang bagi lembaga pendidikan untuk membuat dan mengelola kurikulumnya sesuai dengan potensi dan kompentensi wilayah / lingkungan yang dimilikinya. Kesempatan ini hendaknya dapat dimanfaatkan oleh masing sekolah atau pihak pemerintah daerah setempat untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang lebih terarah, cakap dan terampil.

Pendidikan yang mampu meningkatkan mutu sumberdaya manusia untuk mengelola sumberdaya atau potensi daerah adalah pendidikan yang dikembangkan dengan kurikuum berbasis potensi daerah. Kurikulum yang bersifat nasional merupakan kerangka, yang menjadi daging dan kulit adalah kurikulum yang dikembangkan oleh daerah.

Fakta perihal belum sesuainya kurikulum pendidikan yang mampu mengelola potensi darah, banyak kita temui pada setiap daerah. Secara faktual, hal itu terlihat dari belum adanya manfaat nyata (real benefit) bagi daerah tempat sekolah itu berada, khususnya didaerah-daerah yang memiliki banyak potensi alam yang produktif.

Padahal kita ketahui bahwa Negara Indonesia memiliki berbagai ragam budaya dan kekayaan alam, yang bisa dikembangkan dan dikelola melalui kurikulum pendidikan sekolah (kurikulum lokal). Kurikulum sekolah di daerah pesisir, misalnya, sepatutnya tidak disamakan dengan kurikulum sekolah di daerah pertanian.

Seyogianya, kurikulum di daerah pesisir mengandung aspek / materi ajar yang terkait dengan kehidupan nelayan : pembuatan perahu, alat tangkap, pengawetan ikan, pengembangbiakan ikan laut, dan wirausaha ikan laut.

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam melakukan pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah hendaknya memiliki beberapa landasan pengembangan kurikulum, kemudian landasan tersebut dipadukan secara rasional dan bersenyawa, Adapun landasan tersebut minimal terdiri atas :

Landasan Ideal
Adalah landasan pokok yang berfungsi sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah. Landasan ini terdiri dari beberapa sub sistem serta memiliki sistimatika berfikir sebagai berikut : Kurnas sebagai kerangka dasar, potensi daerah sebagai sumber belajar dan ilmu sebagai metodologi, kemudian melahirkan curriculum content, hidden curriculum, bahan ajar, standar kelulusan, standar evaluasi, dll, dengan memiliki sasaran target : membentuk peserta didik sebagai sentra pembangunan daerah yang memiliki ilmu dan berkarya unggul.

Landasan Yuridis
Adalah landasan hukum yang berfungsi sebagai rujukan standar minimal dalam pelaksanaan kurikulum. Landasan tersebut antara lain : UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, PP, Kepres, Kepmen dan KTSP.

Visi-Misi Lembaga
Adalah sebuah pandangan, wawasan, dan cita-cita lembaga yang berfungsi sebagai arah dasar dalam merumuskan beberapa program secara berkelanjutan.

Dengan adanya landasan ideal, landasan yuridis dan visi-misi lembaga, maka sivitas lembaga mulai merumuskan dan membuat beberapa Program kegiatan pengembangan Kurikulum berbasis potensi daerah. Adapun program tersebut antara lain adalah:
  1. Penyusunan panduan pengembangan Kurikulum
  2. Penyusunan rancangan Kurikulum pada setiap jenjang yang saling berkaitan.
  3. Pengembangan silabus Kurikulum
  4. Pengembangan bahan ajar Kurikulum
  5. Pengembangan standar kelayakan lulusan
  6. Pengembangan sistem evaluasi Kurikulum
DASAR IMPLEMENTASI KURIKULUM POTENSI DAERAH
  1. Kurnas, Potensi daerah dan Ilmu. Implementasi konsep potensi daerah, Ilmu dan Alam dalam kurikulum berbasis potensi daerah, hendaknya dilakukan dalam tatanan berfikir serta sikap, sebagai berikut: Kurnas adalah kurikulum nasional yang kemudian dijadikan sebagai kerangka dasar/standar minimal untuk pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah. Potensi Daerah. Keragamanan potensi daerah/karakteristik daerah merupakan laboratorium untuk lebih memahami dan menguasai pengetahuan tentang potensi daerah yang dimiliki, potensi daerah berfungsi sebagai salah satu sumber pembelajaran. Ilmu adalah metodologi pengetahuan Tujuan dari konsep ini adalah agar generasi penerus didaerah memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengelola potensi daerah secara mandiri, kreatif dan produktif. Oleh karena sebaik-baiknya generasi penerus adalah mereka yang mampu berkarya unggul untuk membangun dan mengembangkan setiap potensi yang ada didaerahnya secara proposional dan berkelanjutan.
  2. Rasional-Terpadu dan Bermakna. Makna rasionalitas dalam pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah adalah: Potensi daerah dan keragaman budaya merupakan sub-sub sistem dari kehidupan sosial pada masing daerah. Bahan ajar, mata pelajaran, dan guru merupakan sub-sub sistem pembelajaran disekolah. Oleh karena itu sub-sub sistem pembelajaran harus saling terkait dengan sub sistem kehidupan sosial pada masing daerah, sehingga membentuk sistem pengetahuan tentang karekteristik, potensi dan kompetensi yang dimiliki oleh masing daerah. Pengertian terpadu bukanlah kumpulan sistem yang berdiri sendiri. Konsep terpadu dalam kurikulum berbasis potensi daerah: di-benangmerah-i oleh karekteristik daerah. Konsep terpadu dengan karekteristik daerah adalah seperti terpadunya air dengan susu, bukan seperti terpadunya air dan minyak. Setiap upaya pengaitan haruslah rasional dan bermakna hingga lebih mudah dipahami. Bermakna, Secara teori konsep pembelajaran bermakna adalah bersifat: konstruktif, kolaboratif, konversasional, reflektif, kontekstual, kompleks, intensional, dan aktif. Konsep ini sekaligus telah memenuhi standar nasional pendidikan untuk proses pembelajaran.
Seperti kita ketahui, bahwa Kurikulum pendidikan yang sekarang berlaku adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dengan kurikulum ini setiap lembaga pendidkan sekolah memiliki kewenangan luas menyusun kurikulumnya sendiri. Dengan demikian kurikulum dari setiap sekolah didaerah dapat berbeda dengan daerah lainnya. Namun demikian kurikulum yang dibuat sekolah tetap mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Kita berharap semoga setiap pemerintah daerah dinegeri ini serta lembaga pendidikan lainnya, mampu memberikan peningkatan mutu pendidikan melalui kurikulum yang lebih realistik dan berkualitas, dalam rangka menciptakan generasi penerus yang berkarya unggul dan bermartabat pada masing daerah.

THE FORMING OF ATTITUDE AND BEHAVIOR BASED ON INFORMATION TECHNOLOGY THROUGH CURRICULUM OF INFORMATION SYSTEM WITHIN EDUCATION

DR. Hansiswany Kamarga, M.Pd.
A Case Study in the Subject of Curriculum Development at Master's Degree, Indonesia University of Education. 

Created by: Dr. Hansiswany Kamarga, M.Pd. 
School of Postgraduate, Indonesia University of Education

ABSTRACT
This research is concerned with the use of blended & e-learning to develop of attitude and behaviour based on information technology at Master Program in Curriculum Development. On one hand, the curriculum of Master Program in Curriculum Development requires the achievement of mastering the information technology, but on the other hand majority of students feel unfamiliar with information technology itself and they don't feel the urge to learn since at where they come from internet technology hasn't been improved thus doesn't have an ideal infrastructure yet. The basic of this research is the usage of blended & e-learning, combining knowledge of information technology, skill in seeking for learning source and in developing learning based on information technology, enable this research to be qualitatively measured whether attitude and behavior based on information technology is forming within students.

The purpose of this study was to observe the forming of attitude and behavior based on information technology after doing the learning using blended and e-learning model.

In order to achieve our goal, this research is done by using qualitative case study approach. The type of learning used in this research is blended & e-learning, combining face to face model (conventional), internet usage in class (synchronous), and distance learning (asynchronous). The proportion in learning activity is 40% knowledge and 60% skill. The knowledge learning is focused on direct knowledge which connected with information technology usage, while skill learning is focused on source finding and developing information technology based learning model. The research’s design use naturalistic inquiry approach, where aspects of students’ behavior toward learning by using information technology, students’ behavior toward information technology usage, students’ skill in seeking information sources in the internet (browsing), student’s skill in developing learning based on information technology, measured by the implementation of blended and e-learning model. The subjects for this research are 18 students who register Information System within Education subject. The instruments used are observation sheets, test, and structured tasks. Data is collected during research and analyzed through qualitative approach.

The achieved result through this research is the forming of students' attitude and behavior which based on information technology. This can be proven by students' need toward internet, whether to find learning source, communicate, or developing various learning model. The forming of this attitude changes students’ mindset from depending on transfer of knowledge (one way from lecturer to students) to transaction of knowledge, where when students feel necessary they will seek to the source themselves. It describes the constructive learning pattern.

In summary, students' attitude and behavior toward information technology will change along with knowledge and experience they get through blended & e-learning. With the changes of their attitude and behavior toward information technology, the spread of information technology will be easier and meaningful since learning pattern will happen in two ways. The result of this research recommends us in considering the usage of blended & e-learning model within a school subject as an alternative if we want to transform learning pattern into transaction pattern.

Keyword: Attitude and behavior, experience, information technology, blended and e-learning

INTRODUCTION
The economic progress phenomenon in East Asia basically reconciles toward achievement factors in doing product diversification based on market demand, skill of mastering fast technology through reverse engineering (e.g. computer clone), the amount of people’s saving, good education, and work ethos (Ade Cahyana, 1998). People, company, or countries who own education, skill, creation, and efficiently spread education will gain first chance within global competition nowadays (Cisco, 2001). This shows that education oriented in mastering technology is a must.

Along with development of innovation in information technology area, education and learning sources have become very accessible. This innovation has changed the paradigm of education from constant gain of knowledge and skill after education stage toward the paradigm of fast changing knowledge and skill. The progress of instructional technology supported by development in information technology and communication accelerates education to develop faster according to the need of education in achieving knowledge base society.

In globalization era, the chance of a country to own high and continuity growth will get higher if supported by human resources who own knowledge and basic skill to adapt themselves with demands in progress, higher education, background skill in knowledge and technology, and the ability to produce products which are capable to compete in global scale, both in quality and price.

Indonesian will have difficulties to use the chance as explain above if they don’t give better attention in education. Education crisis in Indonesia, seen from the quality, spreading, or other efficiency in handling, has been going on for too long. Objectively, education system in Indonesia has been through quality crisis since mid 1970, when pattern in education development were done in bureaucracy and centralize, which endanger the human resources (Ace Suryadi, 1998). One visible example is the student’s achievement that far behind international standard. One of the factors causes low education level is the lack of development in education facilities. This has caused student’s lack of experience. Beside limitation in facilities, teachers’ urge to develop innovation within education is still low (Hansiswany Kamarga, 2007). Based on the condition mentioned, it is necessary to fix the education in Indonesia, and one aspect has potential to be developed is through information technology base education.

There are several reasons why it necessary to develop information technology base education in Indonesia. First, the fact that education is a media to develop human resources is fully aware, nevertheless without the availability of ideal facilities the statement above will be nothing but just a statement on paper. Physical education facilities in Indonesia are very limited, while the number of human resources who need education development is increasing which makes information technology base education development (e.g. the development in long distance education) has become a highly necessity. Second, industrial development needs fixing in human resources, which causes the demand of more variation in education facilities. The limitation in physical conventional education facilities and the lack of possibility to achieve a more variation in education according to market’s need has caused Indonesian education quality left behind. Third, the development of information technology base education system will accelerate the chance to gain education beside the fixing of education quality itself. Forth, Indonesia’s various geographic condition, ranging from cities to deserted area divided by many straits and seas, seriously needs to consider development in education base on information technology, since that kind of education system’s development will be very helpful in spreading and fixing education in Indonesia.

Although it has been identified that information technology base education development is needed in Indonesia, in real life it’s on the contrary. In majority, master students come from many areas in Indonesia, and most of them are still lack in knowledge and skill of information technology, some are even still unfamiliar in using computer. In one hand, curriculum in magisterial program Curriculum Development demands students’ skill to use information technology and develop learning that base on information technology, but in reality there are still many students who know nothing about technology itself. This has been seen as an obstacle, which delivers a problem of how to shape attitude and behavior base on information technology through learning in order to achieve students’ need in information technology skill.

PROBLEM AND PURPOSE
To overcome the identified problem mentioned in background, it is necessary to digest on how to design a learning that capable to guide students in mastering information technology. Going deeper, mastering the information technology is more than simply mastering the skill, but must based on the changing of mind set in information base thinking. That kind of mind set can be observed through the forming of behavior and attitude which based on information technology. Based on description above, this research is focused on How implementation of curriculum Information System in Education is designed to achieve behavior and attitude of information technology students? The research’s focus is developed in research questions as followed.

Is learning through blended & e-learning can form information technology base behavior and attitude?
  1. What kind of blended & e-learning learning model used in this research?
  2. How is the achieved result?
  3. How is the identified forming of information technology base behavior and attitude through out this research?
In general, the research aims to answer problem which integrated with the forming of information technology base behavior and attitude. Specifically, the research aims to:
  1. Describing the model of blended & e-learning learning used in this research
  2. Getting the achieved learning result
  3. Getting the overall view of information technology base behavior and attitude that has been formed through this research.
RESEARCH METHOD
To achieve the objective, the research is being done by using an approach of qualitative study case.
Learning model used in this research is blended & e-learning model, integrated between:
  • face to face model in class (conventional)
  • using internet in class (synchronous), and
  • using distance learning (asynchronous).
Learning proportion are 40% knowledge and 60% skill. Knowledge learning is focused on direct knowledge connected to information technology usage, while skill learning is focused on finding sources and developing information technology base learning model.

The design of this research is using inquiry naturalistic approach where aspects of students’ attitude toward learning by using information technology, students’ behavior toward information technology usage, students’ skill in finding information resources in the internet (browsing), and students’ skill in developing technology base learning are measured through implementing blended & e-learning model. The subject of this research (respondent) is a class of 17 students who are taking Information System within Education curriculum.

In this research, the instruments being used are observation sheets, structured tasks, result test, and data are being collected throughout research and analyzed by using qualitative approach, meaning incoming data are straightly being analyzed. Describing the result of class observation and students’ tasks are being done through continuous qualitative analysis enable us to see the happening changes. Data of learning result are generated by using profile technique which enable us to describe overall result from students’ learning.

RESEARCH OUTCOMES  
Blended & e-learning that is being used
The design of blended & e-learning model that is being used is the combination of 40% theory and 60% practice. Students take classes in computer lab, where each student face computer with internet access. The first five times is used by lecture to give theory.

The way the lecture is designed is the following activity would be a presentation where the topic is about understanding computer as learning tool, multimedia, distance education, and online learning. These four topics are given in order to make the students think and find their own understanding toward information technology base thinking concepts. Although main elements of these topics are taken from resource book (Heinich, et al, Instruction Technology and Media for Learning, 2005), students are still being asked to complete the rest of the elements by looking for the sources through the internet. The strategy used in this part of learning is by using the internet in class (synchronous).

After mid semester, lecture is designed by students’ paper presentation which, discussing about various learning model that can be improved through information technology base learning such as webpage, chatting, newsgroup, learning by using e-book, e-news, e-dictionary, e-laboratory. In this part students are asked to develop their ability to design an information technology base learning form.

From three forms of approached used for one semester lecture, we can see a form that describe these learning steps (a) the transfer of information technology knowledge in a face to face conventional way done in class, (b) inquiry learning by giving the students task to search for a broader information about concepts that are necessary to be understood in information technology by internet browsing, and transaction learning with the pattern of students’ presentation which shows their capability to develop information technology base education.

LEARNING PROCESS
For theory introduction, a lecture method is given in class with following topics: The Basic Concept of Information, The Basic Concept of System and Information System, The Development of Internet Technology and Problems found in scientific writing in the internet, E-education and electronic education system.

For practice introduction about things are used when accessing the internet, by using practice method of internet access the students are requested to make email account, develop mailing list whose members are the whole students in class so they can communicate at the same time.

Skills being developed during internet usage in class are (a) communicating through email, (b) communicating through mailing list, (c) internet browsing in order to find articles related to the task of making annotated bibliography, task of making presentation about information base technology thinking concepts, (d) developing a model or an information technology base learning approach.

* The achieved learning result
The achieved result throughout one semester lecture is showing an increasing graphic for students’ learning result. (a) Annotated bibliography is the achieved result on the beginning of class where students are asked to do browsing in searching articles related to their annotated bibliography elements. (b) Presentation is the result gained through students achievement toward understanding topic to information technology base thinking concepts. (c) Storyboard is the result of students’ development toward information base technology learning model. (d) Final Semester Exam is final exam achieved by students. Overall the result is shown in the following table.

Judging from the timing of marking where the aspects of annotated bibliography, presentation, storyboard, and final exam are tasks given in chronological orders since beginning until end of semester, we can see the decreasing of mark within the score range of 61-70 and the increasing of mark within score range 81-90.

* The forming of attitude and behavior based on information technology
Attitude and behavior based on Information technology is being judged from observation during the lecture. Assuming that on the beginning there are very few students have the ability to use information technology, after one semester lecture period the following result shows.
  • The aspects of students’ behavior toward learning by using information technology
  • Every student uses laptop during lectures outside the lecture of information system within education
  • Every time they find concept/ phrase that is not understood after finding for themselves through wikipedia.com or internet
  • They access lecture materials through lecturer’s website
  • Communication is built through mailing list
  • The students’ behavior toward the usage of information technology
  • Distribution of tasks are done by using mailing list instead of photo copying
  • Communication with lecturer is built through email
  • Students that are out of town is sending their test answers through email
  • The students’ skill in finding information resources in the internet (browsing)
* Completing annotated bibliography through sources in the internet
* More than 50% of the reference used for task came from the sources in the internet
  • The students’ skill in developing internet technology base learning
* Using webquest.com (interactive)
* Developing virtual magazine
* Developing learning site using pbwiki.com
* Developing dictionary for local language

DICCUSSION
Introducing the Information Technology to student is not only to train them in using Information Technology, but the first and main are to change their mind set to make them want to use Information Technology in academic life. It is easy to train the student in using computer and internet, but to form attitude and behavior (alter mind set) that base on Information Technology is not easy. For example, in training student for opening mail box, writing and delivering email is not difficult, but form attitude and student behavior in order to open their mail box everyday, conducted communication through email, is not easy.

Ari Wibowo (2006 : 1) explain that the result of a study is Information Transfer, Skill Acquisition, Change of mental model, whereas in designing a lesson or curriculum require correspondence between target learn and instruction model. Study model can be classified into Instructor Centered, Learner Centered, Learning Team Centered. Furthermore it is described the relation between target learn and model as follows

Base on the picture above, mental change (in this case mind set) can be conducted if study far from models teacher centered and more develop learner centered or learning team. This Idea is based on the philosophy of constructivist that have a notion that learners are not empty vessels waiting to be filled, but rather as active organisms seeking meaning (Driscoll, 1994 in Chang Chew Hungs, 2007). In this case Sherry (1996) give emphasis at study strategy that guided practice, media based challenges, inquiry learning, and teamwork, that make proper developed to reach target the student makes sense and constructs new knowledge from the information which is presented. That is can be told that study that its centre on acquirement, the student is not only transfer knowledge but more than that, they can alter mental or mind set study.

Model blended & e-learning is designed to fulfill the need of mastering Information Technology and form attitude and behavior base on Information Technology. In general, the term blended learning is used to describe a solution that combines several different delivery methods. These can be a mix of various even-based activities such as face to face classrooms, live e-learning and sharing software, and self-paced learning. Some people consider blended e-learning to be the use of a variety of online delivery methods to present content and activities to learners. Thus with this approach, the entire course still remains online, but uses a blend of materials to present the content. (Nicholson, 2003). Because of this model gathers various of methods, so it give a chance to student to expand more optimal, either through structured study or through the study with inquiry approach.

Research Result shows that with structured steps and continual, beginning from recognition in theoretic then continued with recognition in practice, and accustomed use Information Technology, then will be formed attitude and student behavior that base on Information Technology. This research Result shows compatibility between what Ari Wibowo said with the theory of constructivist, it means that study which is designed with student centre on and developed through inquiry approach will give affects to attitude forming and behavior.
This attitude Forming is change the student way of thinking from that initially expect transfer of knowledge (from lecturer to student in one way) become transaction knowledge, that is if student feel that it is important for them to search its source, as the same manner as that told Chang Chew Hung (2007 : 8), constructivism resides the fundamental premise that learners actively construct their knowledge. Besides that, by study model blended & e-learning, student not only have a skill to use Information Technology but more than that, they can think, behave, and have the behavior that base on Information Technology, as expressed by Chang Chew Hung (2007 : 8), learners develop critical insight into how they think, and what they know about the world develops, as their understanding increases in depth and detail.

CONCLUSIONS
That can be concluded that attitude and student behavior toward Information Technology will be change along with knowledge and experience that the they have through blended & e-learning study. With the change of attitude and student behavior toward Information Technology, the Information Technology dissemination will be easier and have a meaning because study pattern that happening is two directions pattern. This research Result recommends that if we want to change/alter study pattern into transaction pattern, the usage of model blended & e-learning through one of course becomes justifiable alternative.

REFERENCES
Ace Suryadi, (1998). Manajemen Pendidikan Nasional Menuju Kemandirian Bangsa : Gagasan Awal. 

Available at http://www.pdk.go.id/Kajian/Kajian14/ace14.htm

Ade Cahyana (1998). Tujuan Pendidikan untuk Pembangunan : Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan. Available at http://www.pdk.go.id/Kajian/ Kajian14/ade14.htm

Hansiswany Kamarga (2007). Developing Distance Learning with Dual Mode at School of Postgraduate Indonesia University of Education , Paper.

Heinich, R. et al. (2005). Instructional Technology and Media for Learning. Eighth Edition. New Jersey : Pearson Merrill Prentice Hall.

Chang Chew Hung. (2007). Engaging Learning Through the Internet : WebQuests in the Humanities Classroom. Singapore : Pearson Prentice Hall.

FX Ari Wibowo (2006). Distributed Learning : Sebuah Konsep Teleeducation. Available at http://www.gematel.com/qanews/qanewsonline/edisi%20VI/Distributed%20-Learning.html

Orton, S. (2003). Blending e-learning with curriculum design. Available at http://www.swap.ac.uk/elearning/using3.asp

Nicholson, M.J. (2003). Models of Blended eLearning. Available at http://iit.bloomu.edu /etraining/Models/models.htm

KURIKULUM DAN TUJUAN PENDIDIKAN


Oleh: Prof. DR. H. Said Hamid Hasan, MA.
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para akhli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.

Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".

Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada isu berikut ini:
* filosofi kurikulum
* ruang lingkup komponen kurikulum
* polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
* posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum

Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis "curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction". Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa "we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation". Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai "a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school". Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) "I feel that the cyclical has much to recommend". Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis "curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school". Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan "the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience".

Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".

Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan: 
"Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process".
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.

Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.

Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para akhli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)

Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.

Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.

Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.

POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.

Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.

Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1. peningkatan iman dan takwa;
2. peningkatan akhlak mulia;
3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6. tuntutan dunia kerja;
7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8. agama;
9. dinamika perkembangan global; dan
10. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.

Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.

Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.

Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.

Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum "a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve". Berbagai factor seperti politik, social, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan "curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history". Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.

Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
"The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities".
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

DAFTAR BACAAN
Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.

Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.

Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.

Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University

Marsh,C.C. (1997). Planning, management and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London: The Falmer Press

McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Olivia, P.F. (1997). Developing the Curriculum. 4th edition. New York: Longman

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan

Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.

Unruh, G.G. dan Unruh,A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation