Translate

Sabtu, 21 November 2009

MENATA DAN MEREKONSTRUKSI KURIKULUM YANG FLEKSIBEL

PENDAHULUAN
Era otonomi dalam bidang pendidikan di Indonesia sudah berlang-sung kurang lebih satu dasa warsa. Otonomi ini sejalan dengan tuntutan agar perguruan tinggi secara institusional menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dalam dunia global (global competetiveness) di dunia kerja. Persaingan ini, lebih jauh dalam arti sebenarnya, diharapkan mampu membawa trade mark perguruan tinggi yang dapat berkompetisi di tingkat nasional dan menyiapkan SDM yang mampu bersaing secara global.

Perguruan tinggi harus tetap exist dan bertahan untuk meng-hadapi persaingan global. Untuk menghadapi persaingan global perguruan tinggi dituntut menghasilkan lulusan (output) yang memiliki kemampuan yang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap untuk bertindak secara cerdas (intelligence). Untuk mencapai maksud di atas, perguruan tinggi harus berani menghadapi perubahan yang terjadi. Dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan dan dunia kerja bagi lulusannya, perguruan tinggi harus mempu menyesuaikan diri. Agar hal-hal tersebut berjalan seiring, perguruan tinggi perlu melakukan perubahan-perubahan baik secara kelembagaan maupun segi kuriku-lumnya

Perubahan kelembagaan dilakukan dengan cara menata pola kerja dan oraganisasi lembaga, termasuk memperbaiki iklim kerjanya se-hingga diharapkan meningkatkan produktivitas kerja staf akademik dan lulusannya. Selama dua dekade terakhir, pendidikan tinggi terus menata dan mereorganisasi kurikulumnya. Penataan dan reorganisasi ini didorong oleh adanya tuntutan kebutuhan masyarakat, social demand, yang bersifat dinamis. Ini berati kebutuhan masyarakat yang selalu berubah memiliki implikasi berubahnya kurikulum, karena apabila tidak dilakukan segera lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi akan tertinggal, atau ditinggalkan oleh masyarakatnya. Untuk itulah, perguruan tinggi perlu melakukan perbaikan dan perubahan kurikulumnya. Proses membuat keputusan untuk melakukan perbaikan atau revisi atau rekonstruksi kurikulum inilah kita kenal dengan pengembangan kurikulum. Oliva (1992) menyatakan, 
"Curriculum development is seen here as the process for making programmatic decisions and for revising the product of those decisions on the basis of continous and subsequent evaluation"
Perubahan kurikulum dilakukan secara selektif, adaptif dan fleksibel sehingga lulusannya mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Secara selektif, artinya bahwa substansi kurikulum atau pengalaman belajar mahasiswa dipilih yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan minat mahasiswa serta menunjang pencapaian visi dan misi kelembagaan. 
  1. Adaptif, artinya kurikulum yang disusun dapat menyesuaikan dengan irama kondisi lingkungan. Kurikulum yang adaptable yaitu kurikulum yang disusun mampu memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, kurikulum disusun hendaknya selalu dapat menyesuikan dengan keadaan masyarakat atau stakeholdernya. 
  2. Fleksibilitas kurikulum dilakukan melalui fleksibiltas program-program yang ditawarkan dan selalu mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Fleksibilitas sebagai salah satu prinsip penyusunan kurikulum, bahwa kebutuhan masyarakat dan dunia kerja yang selalu berkembang dapat dipenuhi oleh kurikulum.
Sejalan pula dengan perubahan-perubahan yang terjadi seba-gaimana di sebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan keputusan, yaitu Kepmendiknas nomor:232/U/2000 yang berkaitan dengan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam pedoman tersebut diatur tentang ragam kelompok matakuliah (MPK, MKK, MKB, MPB, MBB). Sebagai tindak lanjut, Kepmendiknas di atas dikeluarkan juga Kepmendiknas 045/U/2004 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Kurikulum ini menegaskan bahwa kurikulum inti ini memuat kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa. Kompetensi ini memuat unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam keputusan nomor 232/U/2000. Namun demikian, pedoman untuk melaksanakan masih belum menyertai kebijakan tersebut. Untuk itu, perguruan tinggi perlu mengambil prakarsa dalam rangka menindaklanjuti keputusan tersebut. Lagipula, perguruan tinggi harus mengantisipasi adanya tuntutan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

LANDASAN PERUBAHAN
Seiring dengan pembaharuan dan perubahan kurikulum perlu segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Perubahan-perubahan ter-sebut sangat penting dan tidak bisa dihindari, karena melalui peru-bahan tersebut kehidupan akan terus tumbuh dan berkembang (Oliva, 1992). Perubahan kurikulum di Indonesia didorong oleh beberapa faktor. Faktor-faktor pendorong ini meliputi sebagai berikut, yaitu: 1) politik atau kebijakan, 2) dinamika masyarakat, 3) perkembangan ilmu dan teknologi, 4) ideologi masyarakat, dan 5) historis dan sosiologis.

1. Politik atau Kebijakan
Pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, faktor politis telah memberikan warna pada kuriku-lum yang berlaku. Hal ini terlihat pada implementasi atau pemberlakuan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini memberikan kewenangan atau otonomi kepada daerah untuk mengatur sendiri rumah tangganya. Pelaksanaan Undang-undang ini diikuti pula dengan perubahan pengelolaan pendidikan, yaitu dari pusat (sentralistik) ke daerah (desentralistik). Otonomi pendidikan ini semakin memberikan peluang besar bagi lembaga, pendidikan tinggi untuk berinisiatif mengubah kurikulumnya dengan menyesuaikan dengan kebutuhan daerah di satu pihak, dan kebutuhan yang lebih luas agar perguruan tinggi mampu bersaing di pasar global. Peluang untuk bersaing bagi perguruan tinggi diawali dengan dikeluarkan Kepmendiknas baik SK nomor 232/U/2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum PT dan penilaiann hasil belajar mahasiswa maupun nomor 045/U/2002 tentang perubahan Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Keputusan ini sekaligus menjadi landasan bagi perubahan kurikulum secara mendasar. Kurikulum pendidikan tinggi tersebut memuat baik kurikulum inti maupun kurikulum institusional. Secara pendek kata, kurikulum pendidikan tinggi tersebut mengandung keputusan politik, curriculum policy, baik pada tataran tingkat pusat (nasional) maupun tataran kelembagaan instituional.

2. Tuntutan Masyarakat
Selain faktor politik, tuntutan masyarakat dan dunia kerja menjadi pertimbangan dalam perubahan kurikulum. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat selalu berubah secara dinamis (dinamika masyarakat). Tuntutan kebutuhan maysarakat semakin kompleks dan bersifat terus menerus. Suatu kebutuhan telah tercapai maka muncul kebutuhan lainnya. Misalnya, kebutuhan dalam bidang komunikasi diikuti oleh kebutuhan akan sumber daya manusia yang mampu dalam bidang komunikasi, kebutuhan akan alat bantu pengolah data dengan perangkat komputer menuntut kebutuhan sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan dan melakukan pengolahan data dengan komputer, dan seterusnya.

Tuntutan kebutuhan masyarakat akan lulusan perguruan tinggi terkait denagn kualitas penguasaan kemampuan spesialisasi tertentu sehingga PT perlu menyiapkan lulusan menguasai bidang-bidang ter-tentu, spesialis. Di pihak lain, perguruan tinggi perlu menawarkan lulusan yang memiliki kemampuan umum yang pembenatukan keahliannya dilakukan secara paralel dengan perkembangan dunia kerja. Perihal ini terkait dengan penyiapan kurikulum spesialis, subject matter curriculum di satu pihak dan penyiapan kurikulum yang generalis, umum.

3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Tuntutan dinamika masyarakat di atas, menyebabkan dan/atau disebabkan oleh adanya perkembangan ilmu dan teknologi. Munculnya teori-teori baru dari cabang ilmu tertentu merupakan hasil percobaan-percobaan manusia. Munculnya ilmu pengetahuan baru telah pula diaplikan oleh manusia untuk membantu mempermudah pekerjaannya. Ilmu pengetahuan tersebut biasanya bersinergi dengan ilmu pengetahuan yang lain sehingga muncul ilmu pengetahuan baru hasil kerja sama dua ilmu pengatahuan dan akhirnya mampu memunculkan ilmu-ilmu bantu dan teknologi baru. Perkembangan dalam ilmu komunikasi dan ilmu komputer yang keduanya bersinergi maka muncul alat komukasi baru, yaitu internet, Wartel, telkomsel, telekonferensi, dan sebagainya.

Perkembangan disiplin baru, ilmu-ilmu bantu yang sekarang ini sudah memasuki tahapan pasca modern dan disiplin-disiplin tersebut saling berkaitan, misalnya di Fakultas Peternakan mahasiswa tidak hanya menguasai bidang produksi makanan ternak, nutrisi, sanitasi dan sebagainya, para mahasiswa juga dituntut memiliki ilmu bantu misalnya marketting, komunikasi, penyuluhan, media penyuluhan dan lain sebagainya. Hadirnya ilmu-ilmu bantu tersebut akan menambah beban kredit yang harus ditempuh oleh mahasiswa; tetapi dipihak lain perlu ada perampingan dimana pencapaian beban kredit cukup berkisar antara 144-160 sks. Untuk itu, perlu meletakkan prorsi seimbang antara kurikulum inti dan instituional.

4. Ideologis atau Cita-cita Masyarakat
Pada masyarakat yang memiliki jiwa dinamis dan daya saing atau kompetetif tinggi, perubahan cepat dan segera menjadi ukuran keberhasilan dan kemajuan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan peradaban tinggi, terdidik, idealis, dan progresif lebih mengutamakan perkembangan dan kemajuan cepat untuk mendukung pencapaian cita-cita hidupnya. Hal ini biasanya dijumpai dalam struktur masyarakat yang bersifat homogen.

Cita-cita masyarakat yang ingin misalnya membentuk lingkungan hidupnya harmonis menghendaki tatanan nilai-nilai yang mendukung kehidupan masyarakata harmonis. Untuk itulah, masyarakat menghendaki lembaga pendidikan yang tujuannya juga ikut memelihara warisan budaya, transmisi kultural yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang seimbang. Masyarakat industri berbeda lagi, mereka menghendaki agar lulusan pendidikan tinggi berorientasi pada kualitas kemampuan lulusan yang produktif sehingga akan memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Dan sebagainya.

5. Historis dan Sosiologis
Di sisi lain, faktor historis dan sosiologis masyarakat turut serta dalam mendorong perubahan kurikulum. Faktor historis masyarakat biasanya mewarnai alur perkembangan kurikulum. Aspek-aspek nilai, norma, sejarah masa lalu suatu masyarakat masih menjadi ukuran dan ciri khas suatu masyarakat. Hetrogenitas masyarakat memberikan kontribusi bagi cepat lambatnya suatu inovasi dalam bidang kurikulum. Sebagian masyarakat ingin cepat maju, sebagian yang lain ingin sedang-sedang saja, dan sebagian yang lain pula tidak ingin berubah dan tetap ingin mempertahankan aspek-aspek nilai dan norma kemasyarakatan yang telah berjalan selama ini.

Sebagian masyarakat yang ingin mempertahankan kehidupan yang tetap stabil dan tidak ingin ada goncangan, perubahan yang dikehendaki bukan perubahan revolusioner akan tetapi perubahan evolusi, pelan tapi pasti. Perubahan kurikulum bisa dilakukan secara tambal sulam, yang perlu diubah yang diubah dan yang perlu --dijaga-- kelestariannya tetap dipertahankan. Pola semacam ini banyak dialami dalam proses perubahan kurikulum kita karena ada anggapan bahwa kurikulum ini masih relevan .

6. Psikologis
Landasan psikologis berkenaan dengan bagaimana belajar da-pat terjadi atau pendekatan macam apa yang dipakai untuk membantu proses belajar. Prinsip-prinsip belajar dan teori-teori belajar telah mem-berikan warna dan nuansa kegiatan pembelajaran. Pemilihan dan im-plementasi teori belajar telah mengubah wajah pelaksanaan proses pembelajaran dan bagaimana materi atau bahan ajar diterima dan di-konstruksi oleh siswa. Pemilihan atau seleksi isi materi ini berkenaan dengan minat dan motivasi belajar siswa. Isi materi atau bahan ajar ini sangat terkait dengan kurikulum. Penyajian atau penyampaian isi materi ini perlu mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai atau kompetensi macam apa yang ingin diharapkan dimiliki oleh siswa, strategi atau metode, alat dan sumber serta waktu.

Pemilihan isi materi dalam kurikulum ini harus mempertimbangkan aspek usia dan jenjang belajar siswa . Dengan demikian, kompetensi yang dituntut dari setiap siswa berbeda dengan yang lainnya, termasuk juga tingkat penguasaanya.

Pemilihan atau seleksi isi bahan kajian atau pengalaman belajar mahasiswa sangat terkait dengan faktor psikologis, misalnya kebutuhan belajar, minat, motivasi, gairah belajar, dan kemampuan intelektual dan sebagainya.

BAHAN KAJIAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

1. Kurikulum sebagai curriculum policy
Secara sepihak kurikulum sebagai suatu proses politik. Dikata-kan sebagai proses politik karena kurikulum ini merupakan proses institusional. Pengambilan keputusan atau kebijakan tentang apa yang harus dibelajarkan tidak pernah didasarkan pada kajian rasional atau penelitian. Dan keputusan politis ini tidak dilandasi analisis kritis tentang bahan kajian dalam disiplin ilmu, kebutuhan masyarakat, atau kajian-kajian yang berkaitan dengan proses belajar peserta didik serta kebutuhannya. Alasan yang dijadikan landasan berdasarkan bahwa hal ini penting karena didasari otorisasi politis, siapa yang mengambil keputusan.

Apa yang tertuang dalam dokumen tertulis, buku pedoman un-iversitas atau fakultas dan apa yang seharusnya dibelajarkan dan me-rupakan kompilasi yang harus dikuasai oleh mahasiswa selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi.

2. Keputusan tentang Apa yang akan Diajarkan
Apa yang menjadi cita-cita ideal pengembang kurikulum adalah bagaimana memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik. Selama ini para mahasiswa atau para peserta didik lebih banyak mempelajari kurikulum yang lebih memfokuskan pada academic course (Lee, Croninger, & Smith, 1997).

Secara tradisional, bahwa kurikulum merupakan daftar topik atau pokok bahasan. Pandangan kurikulum semacam ini memberikan implikasi bahwa apa yang harus dipelajari oleh mahasiswa berangkat dari serentetan paket-paket mata kuliah atau pokok bahasan. Penggarapan kurikulum sebagai daftar topik, secara linier mengharuskan mahasiswa --menelan-- apa saja yang disajikan.

Apa yang dihayati dosen seolah-olah menjadi faktor penentu keberhasilan mahasiswa. Penyikapan tentang apa yang diberikan se-lama ini merupakan hal yang dianggap penting untuk membekali ma-hasiswa. Hargreaves (1994) menyatakan bahwa apa yang dipikirkan, diyakini, dan dilakukan dosen di kelas itulah yang menjadi pembentuk belajar mahasiswa.

Namun demikian, apa yang terjadi di kelas situasi dimana pen-galaman-pengalaman belajar dialami dan dilakukan oleh mahasiswa menjadi lebih penting. Pengalaman belajar mahasiswa sangat besar artinya dan mempunyai nilai fungsional manakala pengalaman ini dialami sendiri (learning by doing). Dalam pandangan teori konstruktivistik bahwa kurikulum ini sebagai "a mind expanding experience" (Eisner, 1997). Batasan kurikulum ini lebih mendasarkan pada apa yang sebenarnya dialami oleh mahasiswa di perguruan tinggi: pandangan-pandangan, kecenderungan-kecenderungan, keterampilan, sikap- yang berarti bahwa mahasiswa memiliki peran besar (McNeil, 1990) dalam menentukan sesuatu yang dipelajarinya.

PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pemilihan bahan kurikulum yang baik merupakan bagian penting dalam kaitan dengan proses pembelajaran secara keseluruhan. Para dosen yang merealisasikan isi dan kualitas bahan kajian (kurikulum) tersebut berpengaruh bukan hanya pada apa yang dipelajari mahasiswa tetapi juga bagaimana sebaiknya mereka mempelajarinya.

Berkenaan dengan pemilihan isi kurikulum tersebut, para pen-gembangan dan praktisi kurikulum perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar. Oliva (1992) mengemukakan beberapa prinsip dasar, yang disebut aksioma.
  1. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Masyarakat berkembang untuk mengadopsi dan mengadaptasi perubahan-perubahan yang ada di sekelilingnya. Perubahan ini untuk merespon masalah-masalah kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat, yang mencakup masalah lingkungan, nilai dan moralitas, keluarga, perubahan mikroelektronik, dunia kerja, persamaan hak, krisis masyarakat, kriminal, dan sebagainya.
  2. Kurikulum merupakan produk perubahan yang seiring dengan waktu. Perubahan selalu terjadi secara periodik berdasarkan alur waktu tertentu. Para perencana dan pengembang kurikulum perlu mengidentifikasi berbagai hal untuk membuat keputusan kurikulum pada masa mendatang.
  3. Perubahan secara konkurensi atau secara bersamaan dengan hal lain. Perubahan dalam suatu komponen kurikulum bisa terjadi perubahan pada komponen lain secara bersamaan. Atau, akhir dari suatu perubahan komponen menjadi awal bagi perbaikan kurikulum berikutnya.
  4. Perubahan kurikulum merupakan hasil perubahan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengembang kurikulum perlu mengawali perubahan dari sisi manusianya karena pada dasarnya merekalah yang justru mengubah kurikulum. Ini artinya ada upaya melibatkan orang-orang atau pihak-pihak yang terkait dalam proses pengembangan kurikulum.
  5. Perubahan kurikulum merupakan usaha bersama sekelompok orang. Perubahan kurikulum tidak bisa dilakukan secara terpi-sah-pisah, melainkan dilakukan secara berkolaborasi. Artinya dalam proses perubahan kurikulum melibatkan sekelompok orang yang memiliki peran dan tugas sendiri-sendiri.
  6. Perubahan kurikulum adalah proses pembuatan keputusan. Para perencana kurikulum bekerja sama untuk memilih dan menentukan disiplin, pandangan, tekanan, metode, dan organisasi kurikulum.
  7. Perubahan kurikulum merupakan proses berkelanjutan, never-ending process. Kurikulum selalu diperbaiki dan disempurnakan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Kesempurnaan mutlak sebuah kurikulum tidak pernah terjadi, karena tuntutan atau dinamika selalu terjadi.
  8. Perubahan kurikulum merupakan proses yang menyeluruh atau komprehensif. Komprehensif ini meliputi bukan hanya melihat sisi peserta didik atau mahasiswa, dosen, orang tua, dan program-programnya saja tetapi juga melihat secara keseluruhan termasuk bentuk penyimpangan yang mungkin bisa terjadi.
  9. Perubahan kurikulum secara sistematik lebih efektif daripada hanya sekedar uji coba. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh dan sistematis. Perubahan yang tidak memperhatikan berbagai aspek atau unsur hanya akan membuang waktu, energi dan biaya. Perubahan kurikulum yang dilakukan secara coba-coba akan memberikan dampak negatif, terutama pada subjek didik dan masyarakat pengguna.
  10. Perubahan kurikulum dilakukan dengan memulai dari kurikulum yang ada. Pengembangan kurikulum tidak bisa hanya dilakukan semalam, atau sekedar membalik telapak tangan. Ada berbagai komponen perlu dipertimbangkan.
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KEPUTUSAN KURIKULUM

1. Masyarakat
Masyarakat sebagai basis yang mendapat layanan hasil pendi-dikan memiliki arti strategis dalam ikut serta (berperan serta) dalam mengembang-kan kurikulum suatu lembaga. Masyarakat berperan se-bagai sumber-sumber informasi penting bagi reformasi atau pembaharuan kurikulum. Penyediaan sumber-sumber tersebut berupa kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat masyarakat setempat. Keterlibatan masyarakat ini memberikan kontribusi bagi perguruan tinggi dalam kaitan dengan penyerapan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Semakin besar keterlibatan masyarakat, semakin tingii resistensi perguruan tinggi terhadap masyarakat sekitarnya. Namun demikian, Schaffarzick (1976) menyatakan bahwa peran serta atau partisipasi masyarakat dalam kebijakan pengembangan kurikulum masih cenderung kecil, masih nampak acuh tak acuh, reaktif, dan masih superficial. Hal ini juga masih berlangsung hingga kini, bahwa masyarakat masih belum banyak berkiprah banyak dan belum diajak bicara soal pengembangan kurikulum.

2. Institusi
Keterlibatan institusi dalam pengembangan kurikulum menjadi pola pengembangan kurikulum selama ini. Tujuan lembaga melalui visi dan misi perguruan tinggi membentuk profil lulusan, adalah sesuatu hal dasar. Institutional-based system memerankan tugas utama dalam menjabarkan keputusan centralized-board system. Tidak dapat dipungkiri, kebijakan yang pemerintah pusat masih harus dijalankan lewat misi-misi perguruan tinggi, yang notabene masih harus mendidik warganegara beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Misi-misi tersebut masih harus menjadi perhatian pengembang kurikulum baik di tingkat pusat maupun di tingkat universitas/fakultas/jurusan. Institusi perlu menjabarkan misi tersebut walaupun harus mengurangi beban kredit (credit course) yang perlu dikuasai oleh mahasiswa.

Pengembang kurikulum di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan memberikan warna (coloring) tentang profil lulusan yang ingin dihasilkan. Keterlibatan staf akademik dalam menyiapkan lulusan sekaligus membentuk --wajah lulusan-- sangat strategis kedudukannya. Dikatakan strategis karena peran para dosen dan staf akademik ini secara langsung dapat memberikan kontribusinya bagi penyiapan para lulusan di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan.

3. Instruksional/Pembelajaran
Melalui proses pembelajaran di kelas, para dosen dan mahasis-wa berinteraksi, pengembangan kurikulum menampakkan wujudnya. Proses belajar dan pengalaman pembelajaran di kelas merupakan pengejawantahan bahan kajian atau isi kurikulum. Keseluruhan proses-proses yang dilewati atau keberlangsungan interaksi dosen-mahasiswa memberikan dampak pembelajaran, instructional effect, yang secara langsung memberikan urunan bagi terbentuknya penguasaan (mastery learning). Tingkat penguasaan ini dapat diukur melalui alat ukur yang memiliki tingkat validitas dan reliabilitas tinggi. Di samping dampak langsung pembelajaran, proses pembelajaran memiliki dampak pengiring atau penyerta, nurturent effect, di mana dampaknya berupa pembentukan sikap dan perilaku misalnya menghargai pendapat orang lain, bersemangat, motivasi tinggi, minat belajar dan sebagainya.

4. Personal
Secara perorangan biasanya terkait dengan kepakaran sesorang dalam disiplin tertentu. Kepakaran dalam menguasai bidang tertentu sangat dibutuhkan dalam rangka menunjang dan meningkatkan relevansi kurikulum. Seseorang yang memiliki keahlian dan menaruh minatnya dalam pengembangan disiplin ilmu tertentu memiliki dampak pada tingkat validitas eksternal disiplin ilmu tersebut. Pengembangan bidang atau disiplin di suatu fakultas menuntut adanya pihak-pihak tertentu baik secara kolegial maupun perseorang untuk bekerja saling membantu dalam memajukan disiplin bidang tersebut. Karena bidang garapan disiplin ilmu tertentu menuntut keahlian yang dimiliki oleh orang lain di luar bidang tersebut.

DIFERENSIASI KURIKULUM
  1. Kurikulum ideal. Harapan-harapan dan rekomendasi yang dipikirkan oleh para ahli, kelompok pemerhati, masyarakat, dan pemerintah agar lembaga pendidikan mampu mengikuti arus perubahan perlu diakomodasikan dalam penyusunan kurikulum. Berbagai harapan dan rekoemendasi yang diajukan, misalnya perlu adanya kurikulum yang memuat pendidikan etika, kurikulum bagi anak yang cerdas, kurikulum bagi multiple intelligence, dan sebagainya perlu segera diwadahi. Bahkan pemerintah dianjurkan merancang kurikulum yang dapat memenuhi pangsa pasar, sehingga lulusannya dapat bekerja setelah menyelesaikan studinya. Kurikulum ideal ini memuat cita-cita dan tujuan nasional dan masyarakat/negara sehingga kurikulum ini mengandung system nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat.
  2. Kurikulum formal. Kurikulum formal sebagaimana tertuang dalam Garis-gasris Besar Program (GBPP). Kurikulum formal berisi muatan isi bahan kajian yang perlu belajarkan dan apa yang ingin dicapai oleh program studi (prodi) tertentu. Kurikulum formal ini berupa pengalaman belajar tertulis (written curriculum) yang didokumentasikan di program studi, yang dalam kurun waktu tertentu harus dicapai oleh mahasiswa. Dokumentasi kurikulum yang memuat tujuan kurikuler, bahan kajian dan pengalaman belajar, media dan sumber, serta taksiran waktu yang diperlukan untuk menyajikan kurikulum formal tersebut.
  3. Kurikulum yang dihayati dosen. Apa yang dialami dan dihayati oleh setiap dosen tentang kurikulum formal memunculkan interpretasi atau penafsiran yang beragam. Setiap dosen atau pengajar memiliki interpretasi tentang kurikulum formal yang beraneka ragam. Dalam prakteknya, setiap dosen memiliki tingkat keputusan tentang apa yang diajarkan dan harus dicapai oleh peserta didik. Penghayatan yang berbeda dari seorang dosen dengan dosen lain, apabila tidak tidak dilakukan shared-experience, akan melahirkan diferensiasi implementasi kurikulum. Yang pada gilirannya, pengalaman belajar yang ditularkan kepada mahasiswa akan bervariasi. Akibat lebih jauh, mahasiswa akan mendapat pengalaman belajar yang sama sekali berbeda dan bahkan akhirnya jauh dari tujuan yang diinginkan.
  4. Kurikulum Operasional. Kurikulum operasional ini berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi atau berlangsung di dalam konteks kelas. Implementasi kurikulum di tingkat kelas ini berupa interaksi antara dosen-mahasiswa, atau penggalian pengalaman dilakukan sendiri oleh mahasiswa melalui bahan kajian/modul yang dipelajarinya. Apa yang dipikirkan atau dihayati dan dialami oleh dosen dalam implementasi di kelas kadangkala terjadi ketidaksejalanan. Semakin kaya pengalaman belajar yang didapatkan oleh mahasiswa melalui interaksi di kelas, semakin banyak kesempatan belajar yang didapat oleh mahasiswa.
  5. Kurikulum Eksperensial. Kurikulum esperiensial ini berdasarkan pengalaman nyata ma-hasiswa di kelas. Apa yang sebenarnya mereka peroleh dan pikirkan melalui penghayatan (interaksi) di kelas. Pengalaman belajar mahasiswa berkaitan dengan latar belakang mahasiswa, dan inilah yang memiliki kontribusi banyak bagi perolehan (gained) mahasiswa di samping hasil interaksinya dengan dosen.
PENUTUP
Perubahan kurikulum baik sebagian maupun keseluruhan selalu dibutuhkan karena perubahan itu memang menjadi bagian dari dinamika pendidikan. Disadari atau tidak, bahwa pendidikan itu tidak lain adalah politik karena ditetapkan melalui kehidupan tatanan berbangsa dan bernegara, melalui ketetapan majelis. Pada gilirannya, kurikulum juga menjadi bagian dari proses pilitik tersebut mengingat kurikulum merupakan keputusan nasional dan institusional.

Pihak-pihak yang terkait dan melibatkan diri dalam proses-proses perubahan kurikulum menaruh perhatiannya pada perbaikan dan peningkatan kualitas hasil yang lebih baik. Perhatian dan kepedu-lian ini diwujudkan dalam bentuk keterlibatan aktif dan partisipasi dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum.

DAFTAR BACAAN
Eisner, E.W. (1997) Cognition and Representation. Phi Delta Kappan.
78. (5) 349-353.

Hargreaves, A. (1994) Changing Teachers, Changing Times.
London:Cassell.

McNeil, J.D. (1990) Curriculum: A Comprehensive Introduction. Glen-view, IL: A Division of Scott, Foresman and Company.

Oliva, P.F. (1992) Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.

Schaffarzick, J. (1976) Teachers and Lay participation in Local curricu-lum Change Considerations. Paper presented at the American Educational Research association Annual Meeting. San Fransisco, CA.

Tidak ada komentar: