Translate

Sabtu, 21 November 2009

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) BERBASIS POTENSI DAERAH

PENDAHULUAN
Kita semua sepakat bahwa krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia (seperti tingginya angka pengangguran, meningkatnya masyarakat miskin, rendahnya daya beli masyarakat, makin maraknya kerusuhan, HIV/AIDS, flu burung, gizi buruk, peringkat korupsi Indonesia di dunia, dan lain-lain) secara substansial diakibatkan mutu sumber daya manusia Indonesia yang masih rendah. Peringkat Human Development Index (dengan kriteria harapan hidup, ketercapaian pendidikan, dan pendapatan asli) Indonesia ada pada posisi 108 (Vietnam 109) dari 177 negara. Peringkat Human Poverty Index (18,5) ada pada posisi 41 dari 102 negara berkembang, yang terburuk adalah Uruguay (3,3) berada pada peringkat pertama. Hasil perhitungan Bank Dunia terbaru (Desember 2006) 49% (108,78 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin

Jika kita telusuri akar penyebabnya, pendidikan menjadi salah satu masalah utama yang harus diselesaikan secara serius. Alur berpikirnya demikian: Jika angka pengangguran tinggi solusinya adalah membuka lapangan kerja; lapangan kerja dibuka dengan cara menciptakan banyak perusahaan atau industri; perusahaan atau industri dibuat karena menciptakan produk (barang dan jasa); produk hanya dapat diciptakan oleh teknologi; teknologi hanya dapat diciptakan oleh manusia yang memiliki pendidikan yang baik dan benar. Oleh sebab itu jika pendidikan dikelola secara baik dan benar maka akan tercipta manusia Indonesia yang mampu menciptakan teknologi yang menjadi dasar pembangunan industri yang berskala nasional dan international. Prosesnya memang memakan waktu panjang dan biaya besar.

Namun jika kita berpikir sesaat dan cepat, untuk mengurangi pengangguran dilakukan dengan cara mendatangkan investor. Investor datang dengan membawa perusahaan, produk, dan teknologi sudah jadi. Produk dan teknologi yang dibawa tidak sejalan dengan kompetensi masyarakat sekitar, maka didatangkanlah SDM dari luar. Tenaga kerja yang terserap hanya untuk tenaga kerja tak terlatih (unskilled). Contohnya, hanya sedikit orang Timika yang bekerja di Freeport. Dan, pembangunan di Timika untuk masyarakat Timika? Investasi yang datang dari luar hendaknya dibarengi dengan pengembangan sumberdaya manusia untuk siap memanfaatkan ivestasi untuk kepentingan seluruh masyarakat.

Sudah menjadi kaidah mutlak bahwa suatu bangsa hanya dapat memperoleh kemajuan dalam berbagai bidang melalui pendidikan. Pendidikan seharusnya dapat mencerdaskan bangsa dalam arti luas. Bangsa yang cerdas dapat menumbuhkembangkan kesejahteraan bagi bangsa itu sendiri. Itu berarti bahwa pendidikan berkontribusi positif terhadap pembangunan kesejahteraan bangsa. Pendidikan harus mampu membentuk sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan karakter yang kuat. Bagaimana jika pendidikan sudah berlangsung sekian lama namun hasilnya kurang memuaskan?

KURIKULUM PENDIDIKAN KITA
Pembangunan pendidikan kita selama ini sepertinya kurang berbasis manusia. Krisis moral yang terjadi juga akibat dari kesalahan dunia pendidikan yang lebih menekankan aspek pengetahuan dan melupakan sikap, nilai, dan perilaku. Pendidikan di sekolah tersampaikan dalam penyajian yang hampa makna. Misi setiap mata pelajaran terselewengkan menjadi penerusan materi (content transmission). Guru hanya menjadi pemberi informasi tentang mata pelajaran di kelas yang de-contextualized. Akibatnya, perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru. Lembaga pendidikan seharusnya bersifat contextualized agar pendidikan harus dapat memberi manfaat langsung kepada peningkatan kualitas masyarakat dalam kehidupan di daerah setempat.

Pendidikan yang selama ini dijalankan bersifat sentralistik. Kebijakan Pusat seragam untuk seluruh wilayah, padahal kebutuhan dan karakteristik daerah sangat beragam. Akibatnya pendidikan pun menghasilkan lulusan sentralistik yang tidak dapat secara langsung dimanfaatkan oleh daerah. Kompetensi lulusan SD, SMP, SMA tidak dapat mengelola potensi yang ada di daerah. Walhasil, berbondong-bondong usia SD-SMP-SMA ke kota untuk bekerja secara apa adanya. Desa/daerah kosong ditinggalkan penghuni produktifnya. Desa kehilangan generasi penerus pembangun daerah. Pembangunan di daerah (desa, kecamatan, kabupaten) mandeg atau berjalan sangat lambat. Dalam hal ini pendidikan menjadi kemubaziran karena tidak berwawasan pembangunan (daerah).

PERLUNYA KURIKULUM BERBASIS DAERAH
UU No: 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS dan PP No: 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah memberikan banyak ruang bagi lembaga pendidikan untuk membuat dan mengelola kurikulumnya sesuai dengan potensi dan kompentensi wilayah / lingkungan yang dimilikinya. Kesempatan ini hendaknya dapat dimanfaatkan oleh masing sekolah atau pihak pemerintah daerah setempat untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang lebih terarah, cakap dan terampil.

Pendidikan yang mampu meningkatkan mutu sumberdaya manusia untuk mengelola sumberdaya atau potensi daerah adalah pendidikan yang dikembangkan dengan kurikuum berbasis potensi daerah. Kurikulum yang bersifat nasional merupakan kerangka, yang menjadi daging dan kulit adalah kurikulum yang dikembangkan oleh daerah.

Fakta perihal belum sesuainya kurikulum pendidikan yang mampu mengelola potensi darah, banyak kita temui pada setiap daerah. Secara faktual, hal itu terlihat dari belum adanya manfaat nyata (real benefit) bagi daerah tempat sekolah itu berada, khususnya didaerah-daerah yang memiliki banyak potensi alam yang produktif.

Padahal kita ketahui bahwa Negara Indonesia memiliki berbagai ragam budaya dan kekayaan alam, yang bisa dikembangkan dan dikelola melalui kurikulum pendidikan sekolah (kurikulum lokal). Kurikulum sekolah di daerah pesisir, misalnya, sepatutnya tidak disamakan dengan kurikulum sekolah di daerah pertanian.

Seyogianya, kurikulum di daerah pesisir mengandung aspek / materi ajar yang terkait dengan kehidupan nelayan : pembuatan perahu, alat tangkap, pengawetan ikan, pengembangbiakan ikan laut, dan wirausaha ikan laut.

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Dalam melakukan pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah hendaknya memiliki beberapa landasan pengembangan kurikulum, kemudian landasan tersebut dipadukan secara rasional dan bersenyawa, Adapun landasan tersebut minimal terdiri atas :

Landasan Ideal
Adalah landasan pokok yang berfungsi sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah. Landasan ini terdiri dari beberapa sub sistem serta memiliki sistimatika berfikir sebagai berikut : Kurnas sebagai kerangka dasar, potensi daerah sebagai sumber belajar dan ilmu sebagai metodologi, kemudian melahirkan curriculum content, hidden curriculum, bahan ajar, standar kelulusan, standar evaluasi, dll, dengan memiliki sasaran target : membentuk peserta didik sebagai sentra pembangunan daerah yang memiliki ilmu dan berkarya unggul.

Landasan Yuridis
Adalah landasan hukum yang berfungsi sebagai rujukan standar minimal dalam pelaksanaan kurikulum. Landasan tersebut antara lain : UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, PP, Kepres, Kepmen dan KTSP.

Visi-Misi Lembaga
Adalah sebuah pandangan, wawasan, dan cita-cita lembaga yang berfungsi sebagai arah dasar dalam merumuskan beberapa program secara berkelanjutan.

Dengan adanya landasan ideal, landasan yuridis dan visi-misi lembaga, maka sivitas lembaga mulai merumuskan dan membuat beberapa Program kegiatan pengembangan Kurikulum berbasis potensi daerah. Adapun program tersebut antara lain adalah:
  1. Penyusunan panduan pengembangan Kurikulum
  2. Penyusunan rancangan Kurikulum pada setiap jenjang yang saling berkaitan.
  3. Pengembangan silabus Kurikulum
  4. Pengembangan bahan ajar Kurikulum
  5. Pengembangan standar kelayakan lulusan
  6. Pengembangan sistem evaluasi Kurikulum
DASAR IMPLEMENTASI KURIKULUM POTENSI DAERAH
  1. Kurnas, Potensi daerah dan Ilmu. Implementasi konsep potensi daerah, Ilmu dan Alam dalam kurikulum berbasis potensi daerah, hendaknya dilakukan dalam tatanan berfikir serta sikap, sebagai berikut: Kurnas adalah kurikulum nasional yang kemudian dijadikan sebagai kerangka dasar/standar minimal untuk pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah. Potensi Daerah. Keragamanan potensi daerah/karakteristik daerah merupakan laboratorium untuk lebih memahami dan menguasai pengetahuan tentang potensi daerah yang dimiliki, potensi daerah berfungsi sebagai salah satu sumber pembelajaran. Ilmu adalah metodologi pengetahuan Tujuan dari konsep ini adalah agar generasi penerus didaerah memiliki kemampuan untuk mengenal dan mengelola potensi daerah secara mandiri, kreatif dan produktif. Oleh karena sebaik-baiknya generasi penerus adalah mereka yang mampu berkarya unggul untuk membangun dan mengembangkan setiap potensi yang ada didaerahnya secara proposional dan berkelanjutan.
  2. Rasional-Terpadu dan Bermakna. Makna rasionalitas dalam pengembangan kurikulum berbasis potensi daerah adalah: Potensi daerah dan keragaman budaya merupakan sub-sub sistem dari kehidupan sosial pada masing daerah. Bahan ajar, mata pelajaran, dan guru merupakan sub-sub sistem pembelajaran disekolah. Oleh karena itu sub-sub sistem pembelajaran harus saling terkait dengan sub sistem kehidupan sosial pada masing daerah, sehingga membentuk sistem pengetahuan tentang karekteristik, potensi dan kompetensi yang dimiliki oleh masing daerah. Pengertian terpadu bukanlah kumpulan sistem yang berdiri sendiri. Konsep terpadu dalam kurikulum berbasis potensi daerah: di-benangmerah-i oleh karekteristik daerah. Konsep terpadu dengan karekteristik daerah adalah seperti terpadunya air dengan susu, bukan seperti terpadunya air dan minyak. Setiap upaya pengaitan haruslah rasional dan bermakna hingga lebih mudah dipahami. Bermakna, Secara teori konsep pembelajaran bermakna adalah bersifat: konstruktif, kolaboratif, konversasional, reflektif, kontekstual, kompleks, intensional, dan aktif. Konsep ini sekaligus telah memenuhi standar nasional pendidikan untuk proses pembelajaran.
Seperti kita ketahui, bahwa Kurikulum pendidikan yang sekarang berlaku adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Dengan kurikulum ini setiap lembaga pendidkan sekolah memiliki kewenangan luas menyusun kurikulumnya sendiri. Dengan demikian kurikulum dari setiap sekolah didaerah dapat berbeda dengan daerah lainnya. Namun demikian kurikulum yang dibuat sekolah tetap mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Kita berharap semoga setiap pemerintah daerah dinegeri ini serta lembaga pendidikan lainnya, mampu memberikan peningkatan mutu pendidikan melalui kurikulum yang lebih realistik dan berkualitas, dalam rangka menciptakan generasi penerus yang berkarya unggul dan bermartabat pada masing daerah.

THE FORMING OF ATTITUDE AND BEHAVIOR BASED ON INFORMATION TECHNOLOGY THROUGH CURRICULUM OF INFORMATION SYSTEM WITHIN EDUCATION

DR. Hansiswany Kamarga, M.Pd.
A Case Study in the Subject of Curriculum Development at Master's Degree, Indonesia University of Education. 

Created by: Dr. Hansiswany Kamarga, M.Pd. 
School of Postgraduate, Indonesia University of Education

ABSTRACT
This research is concerned with the use of blended & e-learning to develop of attitude and behaviour based on information technology at Master Program in Curriculum Development. On one hand, the curriculum of Master Program in Curriculum Development requires the achievement of mastering the information technology, but on the other hand majority of students feel unfamiliar with information technology itself and they don't feel the urge to learn since at where they come from internet technology hasn't been improved thus doesn't have an ideal infrastructure yet. The basic of this research is the usage of blended & e-learning, combining knowledge of information technology, skill in seeking for learning source and in developing learning based on information technology, enable this research to be qualitatively measured whether attitude and behavior based on information technology is forming within students.

The purpose of this study was to observe the forming of attitude and behavior based on information technology after doing the learning using blended and e-learning model.

In order to achieve our goal, this research is done by using qualitative case study approach. The type of learning used in this research is blended & e-learning, combining face to face model (conventional), internet usage in class (synchronous), and distance learning (asynchronous). The proportion in learning activity is 40% knowledge and 60% skill. The knowledge learning is focused on direct knowledge which connected with information technology usage, while skill learning is focused on source finding and developing information technology based learning model. The research’s design use naturalistic inquiry approach, where aspects of students’ behavior toward learning by using information technology, students’ behavior toward information technology usage, students’ skill in seeking information sources in the internet (browsing), student’s skill in developing learning based on information technology, measured by the implementation of blended and e-learning model. The subjects for this research are 18 students who register Information System within Education subject. The instruments used are observation sheets, test, and structured tasks. Data is collected during research and analyzed through qualitative approach.

The achieved result through this research is the forming of students' attitude and behavior which based on information technology. This can be proven by students' need toward internet, whether to find learning source, communicate, or developing various learning model. The forming of this attitude changes students’ mindset from depending on transfer of knowledge (one way from lecturer to students) to transaction of knowledge, where when students feel necessary they will seek to the source themselves. It describes the constructive learning pattern.

In summary, students' attitude and behavior toward information technology will change along with knowledge and experience they get through blended & e-learning. With the changes of their attitude and behavior toward information technology, the spread of information technology will be easier and meaningful since learning pattern will happen in two ways. The result of this research recommends us in considering the usage of blended & e-learning model within a school subject as an alternative if we want to transform learning pattern into transaction pattern.

Keyword: Attitude and behavior, experience, information technology, blended and e-learning

INTRODUCTION
The economic progress phenomenon in East Asia basically reconciles toward achievement factors in doing product diversification based on market demand, skill of mastering fast technology through reverse engineering (e.g. computer clone), the amount of people’s saving, good education, and work ethos (Ade Cahyana, 1998). People, company, or countries who own education, skill, creation, and efficiently spread education will gain first chance within global competition nowadays (Cisco, 2001). This shows that education oriented in mastering technology is a must.

Along with development of innovation in information technology area, education and learning sources have become very accessible. This innovation has changed the paradigm of education from constant gain of knowledge and skill after education stage toward the paradigm of fast changing knowledge and skill. The progress of instructional technology supported by development in information technology and communication accelerates education to develop faster according to the need of education in achieving knowledge base society.

In globalization era, the chance of a country to own high and continuity growth will get higher if supported by human resources who own knowledge and basic skill to adapt themselves with demands in progress, higher education, background skill in knowledge and technology, and the ability to produce products which are capable to compete in global scale, both in quality and price.

Indonesian will have difficulties to use the chance as explain above if they don’t give better attention in education. Education crisis in Indonesia, seen from the quality, spreading, or other efficiency in handling, has been going on for too long. Objectively, education system in Indonesia has been through quality crisis since mid 1970, when pattern in education development were done in bureaucracy and centralize, which endanger the human resources (Ace Suryadi, 1998). One visible example is the student’s achievement that far behind international standard. One of the factors causes low education level is the lack of development in education facilities. This has caused student’s lack of experience. Beside limitation in facilities, teachers’ urge to develop innovation within education is still low (Hansiswany Kamarga, 2007). Based on the condition mentioned, it is necessary to fix the education in Indonesia, and one aspect has potential to be developed is through information technology base education.

There are several reasons why it necessary to develop information technology base education in Indonesia. First, the fact that education is a media to develop human resources is fully aware, nevertheless without the availability of ideal facilities the statement above will be nothing but just a statement on paper. Physical education facilities in Indonesia are very limited, while the number of human resources who need education development is increasing which makes information technology base education development (e.g. the development in long distance education) has become a highly necessity. Second, industrial development needs fixing in human resources, which causes the demand of more variation in education facilities. The limitation in physical conventional education facilities and the lack of possibility to achieve a more variation in education according to market’s need has caused Indonesian education quality left behind. Third, the development of information technology base education system will accelerate the chance to gain education beside the fixing of education quality itself. Forth, Indonesia’s various geographic condition, ranging from cities to deserted area divided by many straits and seas, seriously needs to consider development in education base on information technology, since that kind of education system’s development will be very helpful in spreading and fixing education in Indonesia.

Although it has been identified that information technology base education development is needed in Indonesia, in real life it’s on the contrary. In majority, master students come from many areas in Indonesia, and most of them are still lack in knowledge and skill of information technology, some are even still unfamiliar in using computer. In one hand, curriculum in magisterial program Curriculum Development demands students’ skill to use information technology and develop learning that base on information technology, but in reality there are still many students who know nothing about technology itself. This has been seen as an obstacle, which delivers a problem of how to shape attitude and behavior base on information technology through learning in order to achieve students’ need in information technology skill.

PROBLEM AND PURPOSE
To overcome the identified problem mentioned in background, it is necessary to digest on how to design a learning that capable to guide students in mastering information technology. Going deeper, mastering the information technology is more than simply mastering the skill, but must based on the changing of mind set in information base thinking. That kind of mind set can be observed through the forming of behavior and attitude which based on information technology. Based on description above, this research is focused on How implementation of curriculum Information System in Education is designed to achieve behavior and attitude of information technology students? The research’s focus is developed in research questions as followed.

Is learning through blended & e-learning can form information technology base behavior and attitude?
  1. What kind of blended & e-learning learning model used in this research?
  2. How is the achieved result?
  3. How is the identified forming of information technology base behavior and attitude through out this research?
In general, the research aims to answer problem which integrated with the forming of information technology base behavior and attitude. Specifically, the research aims to:
  1. Describing the model of blended & e-learning learning used in this research
  2. Getting the achieved learning result
  3. Getting the overall view of information technology base behavior and attitude that has been formed through this research.
RESEARCH METHOD
To achieve the objective, the research is being done by using an approach of qualitative study case.
Learning model used in this research is blended & e-learning model, integrated between:
  • face to face model in class (conventional)
  • using internet in class (synchronous), and
  • using distance learning (asynchronous).
Learning proportion are 40% knowledge and 60% skill. Knowledge learning is focused on direct knowledge connected to information technology usage, while skill learning is focused on finding sources and developing information technology base learning model.

The design of this research is using inquiry naturalistic approach where aspects of students’ attitude toward learning by using information technology, students’ behavior toward information technology usage, students’ skill in finding information resources in the internet (browsing), and students’ skill in developing technology base learning are measured through implementing blended & e-learning model. The subject of this research (respondent) is a class of 17 students who are taking Information System within Education curriculum.

In this research, the instruments being used are observation sheets, structured tasks, result test, and data are being collected throughout research and analyzed by using qualitative approach, meaning incoming data are straightly being analyzed. Describing the result of class observation and students’ tasks are being done through continuous qualitative analysis enable us to see the happening changes. Data of learning result are generated by using profile technique which enable us to describe overall result from students’ learning.

RESEARCH OUTCOMES  
Blended & e-learning that is being used
The design of blended & e-learning model that is being used is the combination of 40% theory and 60% practice. Students take classes in computer lab, where each student face computer with internet access. The first five times is used by lecture to give theory.

The way the lecture is designed is the following activity would be a presentation where the topic is about understanding computer as learning tool, multimedia, distance education, and online learning. These four topics are given in order to make the students think and find their own understanding toward information technology base thinking concepts. Although main elements of these topics are taken from resource book (Heinich, et al, Instruction Technology and Media for Learning, 2005), students are still being asked to complete the rest of the elements by looking for the sources through the internet. The strategy used in this part of learning is by using the internet in class (synchronous).

After mid semester, lecture is designed by students’ paper presentation which, discussing about various learning model that can be improved through information technology base learning such as webpage, chatting, newsgroup, learning by using e-book, e-news, e-dictionary, e-laboratory. In this part students are asked to develop their ability to design an information technology base learning form.

From three forms of approached used for one semester lecture, we can see a form that describe these learning steps (a) the transfer of information technology knowledge in a face to face conventional way done in class, (b) inquiry learning by giving the students task to search for a broader information about concepts that are necessary to be understood in information technology by internet browsing, and transaction learning with the pattern of students’ presentation which shows their capability to develop information technology base education.

LEARNING PROCESS
For theory introduction, a lecture method is given in class with following topics: The Basic Concept of Information, The Basic Concept of System and Information System, The Development of Internet Technology and Problems found in scientific writing in the internet, E-education and electronic education system.

For practice introduction about things are used when accessing the internet, by using practice method of internet access the students are requested to make email account, develop mailing list whose members are the whole students in class so they can communicate at the same time.

Skills being developed during internet usage in class are (a) communicating through email, (b) communicating through mailing list, (c) internet browsing in order to find articles related to the task of making annotated bibliography, task of making presentation about information base technology thinking concepts, (d) developing a model or an information technology base learning approach.

* The achieved learning result
The achieved result throughout one semester lecture is showing an increasing graphic for students’ learning result. (a) Annotated bibliography is the achieved result on the beginning of class where students are asked to do browsing in searching articles related to their annotated bibliography elements. (b) Presentation is the result gained through students achievement toward understanding topic to information technology base thinking concepts. (c) Storyboard is the result of students’ development toward information base technology learning model. (d) Final Semester Exam is final exam achieved by students. Overall the result is shown in the following table.

Judging from the timing of marking where the aspects of annotated bibliography, presentation, storyboard, and final exam are tasks given in chronological orders since beginning until end of semester, we can see the decreasing of mark within the score range of 61-70 and the increasing of mark within score range 81-90.

* The forming of attitude and behavior based on information technology
Attitude and behavior based on Information technology is being judged from observation during the lecture. Assuming that on the beginning there are very few students have the ability to use information technology, after one semester lecture period the following result shows.
  • The aspects of students’ behavior toward learning by using information technology
  • Every student uses laptop during lectures outside the lecture of information system within education
  • Every time they find concept/ phrase that is not understood after finding for themselves through wikipedia.com or internet
  • They access lecture materials through lecturer’s website
  • Communication is built through mailing list
  • The students’ behavior toward the usage of information technology
  • Distribution of tasks are done by using mailing list instead of photo copying
  • Communication with lecturer is built through email
  • Students that are out of town is sending their test answers through email
  • The students’ skill in finding information resources in the internet (browsing)
* Completing annotated bibliography through sources in the internet
* More than 50% of the reference used for task came from the sources in the internet
  • The students’ skill in developing internet technology base learning
* Using webquest.com (interactive)
* Developing virtual magazine
* Developing learning site using pbwiki.com
* Developing dictionary for local language

DICCUSSION
Introducing the Information Technology to student is not only to train them in using Information Technology, but the first and main are to change their mind set to make them want to use Information Technology in academic life. It is easy to train the student in using computer and internet, but to form attitude and behavior (alter mind set) that base on Information Technology is not easy. For example, in training student for opening mail box, writing and delivering email is not difficult, but form attitude and student behavior in order to open their mail box everyday, conducted communication through email, is not easy.

Ari Wibowo (2006 : 1) explain that the result of a study is Information Transfer, Skill Acquisition, Change of mental model, whereas in designing a lesson or curriculum require correspondence between target learn and instruction model. Study model can be classified into Instructor Centered, Learner Centered, Learning Team Centered. Furthermore it is described the relation between target learn and model as follows

Base on the picture above, mental change (in this case mind set) can be conducted if study far from models teacher centered and more develop learner centered or learning team. This Idea is based on the philosophy of constructivist that have a notion that learners are not empty vessels waiting to be filled, but rather as active organisms seeking meaning (Driscoll, 1994 in Chang Chew Hungs, 2007). In this case Sherry (1996) give emphasis at study strategy that guided practice, media based challenges, inquiry learning, and teamwork, that make proper developed to reach target the student makes sense and constructs new knowledge from the information which is presented. That is can be told that study that its centre on acquirement, the student is not only transfer knowledge but more than that, they can alter mental or mind set study.

Model blended & e-learning is designed to fulfill the need of mastering Information Technology and form attitude and behavior base on Information Technology. In general, the term blended learning is used to describe a solution that combines several different delivery methods. These can be a mix of various even-based activities such as face to face classrooms, live e-learning and sharing software, and self-paced learning. Some people consider blended e-learning to be the use of a variety of online delivery methods to present content and activities to learners. Thus with this approach, the entire course still remains online, but uses a blend of materials to present the content. (Nicholson, 2003). Because of this model gathers various of methods, so it give a chance to student to expand more optimal, either through structured study or through the study with inquiry approach.

Research Result shows that with structured steps and continual, beginning from recognition in theoretic then continued with recognition in practice, and accustomed use Information Technology, then will be formed attitude and student behavior that base on Information Technology. This research Result shows compatibility between what Ari Wibowo said with the theory of constructivist, it means that study which is designed with student centre on and developed through inquiry approach will give affects to attitude forming and behavior.
This attitude Forming is change the student way of thinking from that initially expect transfer of knowledge (from lecturer to student in one way) become transaction knowledge, that is if student feel that it is important for them to search its source, as the same manner as that told Chang Chew Hung (2007 : 8), constructivism resides the fundamental premise that learners actively construct their knowledge. Besides that, by study model blended & e-learning, student not only have a skill to use Information Technology but more than that, they can think, behave, and have the behavior that base on Information Technology, as expressed by Chang Chew Hung (2007 : 8), learners develop critical insight into how they think, and what they know about the world develops, as their understanding increases in depth and detail.

CONCLUSIONS
That can be concluded that attitude and student behavior toward Information Technology will be change along with knowledge and experience that the they have through blended & e-learning study. With the change of attitude and student behavior toward Information Technology, the Information Technology dissemination will be easier and have a meaning because study pattern that happening is two directions pattern. This research Result recommends that if we want to change/alter study pattern into transaction pattern, the usage of model blended & e-learning through one of course becomes justifiable alternative.

REFERENCES
Ace Suryadi, (1998). Manajemen Pendidikan Nasional Menuju Kemandirian Bangsa : Gagasan Awal. 

Available at http://www.pdk.go.id/Kajian/Kajian14/ace14.htm

Ade Cahyana (1998). Tujuan Pendidikan untuk Pembangunan : Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan. Available at http://www.pdk.go.id/Kajian/ Kajian14/ade14.htm

Hansiswany Kamarga (2007). Developing Distance Learning with Dual Mode at School of Postgraduate Indonesia University of Education , Paper.

Heinich, R. et al. (2005). Instructional Technology and Media for Learning. Eighth Edition. New Jersey : Pearson Merrill Prentice Hall.

Chang Chew Hung. (2007). Engaging Learning Through the Internet : WebQuests in the Humanities Classroom. Singapore : Pearson Prentice Hall.

FX Ari Wibowo (2006). Distributed Learning : Sebuah Konsep Teleeducation. Available at http://www.gematel.com/qanews/qanewsonline/edisi%20VI/Distributed%20-Learning.html

Orton, S. (2003). Blending e-learning with curriculum design. Available at http://www.swap.ac.uk/elearning/using3.asp

Nicholson, M.J. (2003). Models of Blended eLearning. Available at http://iit.bloomu.edu /etraining/Models/models.htm

KURIKULUM DAN TUJUAN PENDIDIKAN


Oleh: Prof. DR. H. Said Hamid Hasan, MA.
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para akhli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula.

Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para akhli kurikulum tidak banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.

Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".

Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para akhli kurikulum mengemukakan berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para akhli didasarkan pada isu berikut ini:
* filosofi kurikulum
* ruang lingkup komponen kurikulum
* polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
* posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum

Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam pengertian kelompok akhli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak akhli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok akhli kurikulum dengan akhli teaching (pangajaran). Baik akhli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis "curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction". Olivia (1997:8.) mengatakan bahwa "we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation". Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai "a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school". Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) "I feel that the cyclical has much to recommend". Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis "curriculum is an interrelated set of plans and experiences which a student completes under the guidance of the school". Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan "the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience".

Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".

Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan: 
"Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process".
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.

Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.

Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para akhli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993), Olivia (1997)

Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin ilmu.

Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.

Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.

POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus terekam secara tertulis.

Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang maksimal.

Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.

Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9 tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta didik.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
1. peningkatan iman dan takwa;
2. peningkatan akhlak mulia;
3. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
4. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
5. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
6. tuntutan dunia kerja;
7. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
8. agama;
9. dinamika perkembangan global; dan
10. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.

Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa mendatang.

Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.

Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan untuk kurikulum SMA.

Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum "a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve". Berbagai factor seperti politik, social, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan "curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history". Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.

Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
"The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities".
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

DAFTAR BACAAN
Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.

Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London: Teachers College, Columbia University

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51-98.

Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education: Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further Education.

Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University

Marsh,C.C. (1997). Planning, management and Ideology: Key Concepts or Undertanding Curriculum. London: The Falmer Press

McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Olivia, P.F. (1997). Developing the Curriculum. 4th edition. New York: Longman

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York: Macmillan

Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc.

Unruh, G.G. dan Unruh,A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation

MODEL – MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengolahan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial.

MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
Admistrative Model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.

Ciri-ciri Administrative model / Top – Down :
  1. Membuat keputusan atau kebijakan berkaitan dengan pengembangan kurikulum
  2. Kurikulum ini tidak mengacu pada perubahan kebutuhan masyarakat, tetapi cenderung memenuhi pola pikir pihak atasan (birokrat) dalam pendidikan
  3. Bersifat sentralisasi
Grass Root Model
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Diberi nama Grass root karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum datang dari seorang guru sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah.

Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi yaitu administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah administrator, guru dan orang tua.

Berkaitan dengan perubahan, pembaharuan, perbaikan dan pengembangan kurikulum, maka sangat dibutuhkan peran serta berbagai pihak agar dalam mewujudkan perubahan dan pembaharuannya dapat berjalan dengan baik, serasi dan harmonis sehingga apa yang menjadi tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai.

KOMPETENSI DAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK) SERTA KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

dipresentasikan di PPs Universitas Sriwijaya (3 November 2009)

PENGERTIAN KOMPETENSI 
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Mc Ashan (1981:45) mengemukakan bahwa kompetensi “….is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors". Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sehingga wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit, dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan memiliki kontribusi terhadap kompetensi yang sedang dipelajari.

PENGERTIAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK)
Berdasarkan pengertian diatas, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum berbasis kompetensi diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketetapan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.

Kurikulum Berbasis Kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau ketrampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan. Kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik menguasai sekurang-kurangnya tingkat kompetensi minimal agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat, setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing.

Kurikulum Berbasis Kompetensi menuntut guru yang berkualitas dan professional untuk melakukan kerjanya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Meskipun demikian, konsep ini tentu saja tidak dapat digunakan sebagai resep memecahkan semua masalah pendidikan. Namun, dapat memberi sumbangan yang cukup signifikan terhadap perbaikan pendidikan.

Dalam hubungannya dengan pembelajaran, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana “ perbuatan tersebut dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan indikator yang menunjuk kepada perbuatan yang bisa diamati dan sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap, serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Kompetensi tersebut terbentuk secara transaksional, bergantung pada kondisi-kondisi dan pihak-pihak yang terlibat secara aktual.

Ashan (1981) mengemukakan 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu penetapan kompetensi yang hendak dicapai, pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi dan evaluasi.

KARAKTERISTIK KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Karakteristik kurikulum berbasis kompetensi antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi juga memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik. Pembelajaran telah menekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja dan bila mereka telah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing. Depdiknas (2002 ) mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memilki karakteristik sbb:
  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar ( learning outcomes ) dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan-pendekatan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memiliki unsur educatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
Pemerintah telah mempercepat pencanangan Milenium Development Goals, yang ssemula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Milenium Development Goals adalah era Pasar Bebas atau Era Globallisasi. Sebagai era pencanangan mutu atau kualitas, siapa yang berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan eksisitensinya. Oleh karena itu pembangunan SDM yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal tersebut mutlak dilakukan, karena akan menjadi penopang utama pembanguanan nasional yang mandiri dan bekeadilan, Good Governance and Clean Govenance, serta menjadi jalan keluar bagi bangsa Indonesia dari multidimensi krisis, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.

Salah satu cara untuk meningkatkan SDM adalah melalui peningkatan pendidikan. Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum meerupakan komponen pendidikan, baik oleh pengelola maupun penyelenggara, khususnya oleh guru dan kepala sekolah. Karena kurikulum dibuat secara sentralistik, setiap satuan pendidikan diharuskan untuk melaksanakan dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang disusun oleh pemerintah pusat menyertai kurikulum tersebut.

PENGERTIAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik. Sekolah dan Komite Sekolah, atau Madrasah dan Komite Madrasah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi kelulusan.

KTSP merupakan upaya untuk menyempurnakan agar lebih familiar dengan guru, karena mereka banyak dilibatkan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakaqn keharusan agar sistem pendidikan nasional tersebut selalu relevan dan kompetitive. Hal tersebut juga sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 35 dan 36 yang menekankan perlunya peningkatan standar nasional pendidikan sebagai acuan kurikulum secara berencana dan berkala dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36.
  1. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
  2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
  3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.
TUJUAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (ototnomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah sebagai berikut
  1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
  2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
  3. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
KARAKTERISTIK KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
Karakteristik KTSP dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga pendidikan, serta sistem penilaian karakteristik KTSP sebagai berikut ”pemberian otonomi yang luas kepada sekolah satuan pendidikan, partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi, kepemimpinan yang demokratis dan profesional, serta tim kerja yang kompak dan transparan.

UU SPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 19 menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Prinsip-prinsip umum kurikulum dan pengajaran adalah siswa diberi kesempatan mempraktekkan perilaku munurut tujuan, pengalaman belajar, memberikan kesempatan bagi siswa menghadapi isi pelajaran. Siswa memperoleh kepuasan menerima pelajaran, level pelajaran dalam rentang yang dimungkinkan bagi siswa untuk dilibatkan. Pengalaman belajar memberikan hasil yang nyata dan pembelajaran siswa akan diperkuat, diperdalam dan diperluas. Dengan demikian pada prinsipnya kurikulum di desain untuk dapat diterima siswa dengan baik, karena jika siswa tidak mampu mengikuti kurikulum yang disampaikan maka kurikulum tersebut tidak akseptabel.

MENATA DAN MEREKONSTRUKSI KURIKULUM YANG FLEKSIBEL

PENDAHULUAN
Era otonomi dalam bidang pendidikan di Indonesia sudah berlang-sung kurang lebih satu dasa warsa. Otonomi ini sejalan dengan tuntutan agar perguruan tinggi secara institusional menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dalam dunia global (global competetiveness) di dunia kerja. Persaingan ini, lebih jauh dalam arti sebenarnya, diharapkan mampu membawa trade mark perguruan tinggi yang dapat berkompetisi di tingkat nasional dan menyiapkan SDM yang mampu bersaing secara global.

Perguruan tinggi harus tetap exist dan bertahan untuk meng-hadapi persaingan global. Untuk menghadapi persaingan global perguruan tinggi dituntut menghasilkan lulusan (output) yang memiliki kemampuan yang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap untuk bertindak secara cerdas (intelligence). Untuk mencapai maksud di atas, perguruan tinggi harus berani menghadapi perubahan yang terjadi. Dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan dan dunia kerja bagi lulusannya, perguruan tinggi harus mempu menyesuaikan diri. Agar hal-hal tersebut berjalan seiring, perguruan tinggi perlu melakukan perubahan-perubahan baik secara kelembagaan maupun segi kuriku-lumnya

Perubahan kelembagaan dilakukan dengan cara menata pola kerja dan oraganisasi lembaga, termasuk memperbaiki iklim kerjanya se-hingga diharapkan meningkatkan produktivitas kerja staf akademik dan lulusannya. Selama dua dekade terakhir, pendidikan tinggi terus menata dan mereorganisasi kurikulumnya. Penataan dan reorganisasi ini didorong oleh adanya tuntutan kebutuhan masyarakat, social demand, yang bersifat dinamis. Ini berati kebutuhan masyarakat yang selalu berubah memiliki implikasi berubahnya kurikulum, karena apabila tidak dilakukan segera lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi akan tertinggal, atau ditinggalkan oleh masyarakatnya. Untuk itulah, perguruan tinggi perlu melakukan perbaikan dan perubahan kurikulumnya. Proses membuat keputusan untuk melakukan perbaikan atau revisi atau rekonstruksi kurikulum inilah kita kenal dengan pengembangan kurikulum. Oliva (1992) menyatakan, 
"Curriculum development is seen here as the process for making programmatic decisions and for revising the product of those decisions on the basis of continous and subsequent evaluation"
Perubahan kurikulum dilakukan secara selektif, adaptif dan fleksibel sehingga lulusannya mampu memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Secara selektif, artinya bahwa substansi kurikulum atau pengalaman belajar mahasiswa dipilih yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan minat mahasiswa serta menunjang pencapaian visi dan misi kelembagaan. 
  1. Adaptif, artinya kurikulum yang disusun dapat menyesuaikan dengan irama kondisi lingkungan. Kurikulum yang adaptable yaitu kurikulum yang disusun mampu memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. Oleh sebab itu, kurikulum disusun hendaknya selalu dapat menyesuikan dengan keadaan masyarakat atau stakeholdernya. 
  2. Fleksibilitas kurikulum dilakukan melalui fleksibiltas program-program yang ditawarkan dan selalu mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Fleksibilitas sebagai salah satu prinsip penyusunan kurikulum, bahwa kebutuhan masyarakat dan dunia kerja yang selalu berkembang dapat dipenuhi oleh kurikulum.
Sejalan pula dengan perubahan-perubahan yang terjadi seba-gaimana di sebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan keputusan, yaitu Kepmendiknas nomor:232/U/2000 yang berkaitan dengan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam pedoman tersebut diatur tentang ragam kelompok matakuliah (MPK, MKK, MKB, MPB, MBB). Sebagai tindak lanjut, Kepmendiknas di atas dikeluarkan juga Kepmendiknas 045/U/2004 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Kurikulum ini menegaskan bahwa kurikulum inti ini memuat kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa. Kompetensi ini memuat unsur-unsur sebagaimana yang tertuang dalam keputusan nomor 232/U/2000. Namun demikian, pedoman untuk melaksanakan masih belum menyertai kebijakan tersebut. Untuk itu, perguruan tinggi perlu mengambil prakarsa dalam rangka menindaklanjuti keputusan tersebut. Lagipula, perguruan tinggi harus mengantisipasi adanya tuntutan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

LANDASAN PERUBAHAN
Seiring dengan pembaharuan dan perubahan kurikulum perlu segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Perubahan-perubahan ter-sebut sangat penting dan tidak bisa dihindari, karena melalui peru-bahan tersebut kehidupan akan terus tumbuh dan berkembang (Oliva, 1992). Perubahan kurikulum di Indonesia didorong oleh beberapa faktor. Faktor-faktor pendorong ini meliputi sebagai berikut, yaitu: 1) politik atau kebijakan, 2) dinamika masyarakat, 3) perkembangan ilmu dan teknologi, 4) ideologi masyarakat, dan 5) historis dan sosiologis.

1. Politik atau Kebijakan
Pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, faktor politis telah memberikan warna pada kuriku-lum yang berlaku. Hal ini terlihat pada implementasi atau pemberlakuan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini memberikan kewenangan atau otonomi kepada daerah untuk mengatur sendiri rumah tangganya. Pelaksanaan Undang-undang ini diikuti pula dengan perubahan pengelolaan pendidikan, yaitu dari pusat (sentralistik) ke daerah (desentralistik). Otonomi pendidikan ini semakin memberikan peluang besar bagi lembaga, pendidikan tinggi untuk berinisiatif mengubah kurikulumnya dengan menyesuaikan dengan kebutuhan daerah di satu pihak, dan kebutuhan yang lebih luas agar perguruan tinggi mampu bersaing di pasar global. Peluang untuk bersaing bagi perguruan tinggi diawali dengan dikeluarkan Kepmendiknas baik SK nomor 232/U/2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum PT dan penilaiann hasil belajar mahasiswa maupun nomor 045/U/2002 tentang perubahan Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi. Keputusan ini sekaligus menjadi landasan bagi perubahan kurikulum secara mendasar. Kurikulum pendidikan tinggi tersebut memuat baik kurikulum inti maupun kurikulum institusional. Secara pendek kata, kurikulum pendidikan tinggi tersebut mengandung keputusan politik, curriculum policy, baik pada tataran tingkat pusat (nasional) maupun tataran kelembagaan instituional.

2. Tuntutan Masyarakat
Selain faktor politik, tuntutan masyarakat dan dunia kerja menjadi pertimbangan dalam perubahan kurikulum. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat selalu berubah secara dinamis (dinamika masyarakat). Tuntutan kebutuhan maysarakat semakin kompleks dan bersifat terus menerus. Suatu kebutuhan telah tercapai maka muncul kebutuhan lainnya. Misalnya, kebutuhan dalam bidang komunikasi diikuti oleh kebutuhan akan sumber daya manusia yang mampu dalam bidang komunikasi, kebutuhan akan alat bantu pengolah data dengan perangkat komputer menuntut kebutuhan sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan dan melakukan pengolahan data dengan komputer, dan seterusnya.

Tuntutan kebutuhan masyarakat akan lulusan perguruan tinggi terkait denagn kualitas penguasaan kemampuan spesialisasi tertentu sehingga PT perlu menyiapkan lulusan menguasai bidang-bidang ter-tentu, spesialis. Di pihak lain, perguruan tinggi perlu menawarkan lulusan yang memiliki kemampuan umum yang pembenatukan keahliannya dilakukan secara paralel dengan perkembangan dunia kerja. Perihal ini terkait dengan penyiapan kurikulum spesialis, subject matter curriculum di satu pihak dan penyiapan kurikulum yang generalis, umum.

3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Tuntutan dinamika masyarakat di atas, menyebabkan dan/atau disebabkan oleh adanya perkembangan ilmu dan teknologi. Munculnya teori-teori baru dari cabang ilmu tertentu merupakan hasil percobaan-percobaan manusia. Munculnya ilmu pengetahuan baru telah pula diaplikan oleh manusia untuk membantu mempermudah pekerjaannya. Ilmu pengetahuan tersebut biasanya bersinergi dengan ilmu pengetahuan yang lain sehingga muncul ilmu pengetahuan baru hasil kerja sama dua ilmu pengatahuan dan akhirnya mampu memunculkan ilmu-ilmu bantu dan teknologi baru. Perkembangan dalam ilmu komunikasi dan ilmu komputer yang keduanya bersinergi maka muncul alat komukasi baru, yaitu internet, Wartel, telkomsel, telekonferensi, dan sebagainya.

Perkembangan disiplin baru, ilmu-ilmu bantu yang sekarang ini sudah memasuki tahapan pasca modern dan disiplin-disiplin tersebut saling berkaitan, misalnya di Fakultas Peternakan mahasiswa tidak hanya menguasai bidang produksi makanan ternak, nutrisi, sanitasi dan sebagainya, para mahasiswa juga dituntut memiliki ilmu bantu misalnya marketting, komunikasi, penyuluhan, media penyuluhan dan lain sebagainya. Hadirnya ilmu-ilmu bantu tersebut akan menambah beban kredit yang harus ditempuh oleh mahasiswa; tetapi dipihak lain perlu ada perampingan dimana pencapaian beban kredit cukup berkisar antara 144-160 sks. Untuk itu, perlu meletakkan prorsi seimbang antara kurikulum inti dan instituional.

4. Ideologis atau Cita-cita Masyarakat
Pada masyarakat yang memiliki jiwa dinamis dan daya saing atau kompetetif tinggi, perubahan cepat dan segera menjadi ukuran keberhasilan dan kemajuan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat dengan peradaban tinggi, terdidik, idealis, dan progresif lebih mengutamakan perkembangan dan kemajuan cepat untuk mendukung pencapaian cita-cita hidupnya. Hal ini biasanya dijumpai dalam struktur masyarakat yang bersifat homogen.

Cita-cita masyarakat yang ingin misalnya membentuk lingkungan hidupnya harmonis menghendaki tatanan nilai-nilai yang mendukung kehidupan masyarakata harmonis. Untuk itulah, masyarakat menghendaki lembaga pendidikan yang tujuannya juga ikut memelihara warisan budaya, transmisi kultural yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang seimbang. Masyarakat industri berbeda lagi, mereka menghendaki agar lulusan pendidikan tinggi berorientasi pada kualitas kemampuan lulusan yang produktif sehingga akan memajukan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Dan sebagainya.

5. Historis dan Sosiologis
Di sisi lain, faktor historis dan sosiologis masyarakat turut serta dalam mendorong perubahan kurikulum. Faktor historis masyarakat biasanya mewarnai alur perkembangan kurikulum. Aspek-aspek nilai, norma, sejarah masa lalu suatu masyarakat masih menjadi ukuran dan ciri khas suatu masyarakat. Hetrogenitas masyarakat memberikan kontribusi bagi cepat lambatnya suatu inovasi dalam bidang kurikulum. Sebagian masyarakat ingin cepat maju, sebagian yang lain ingin sedang-sedang saja, dan sebagian yang lain pula tidak ingin berubah dan tetap ingin mempertahankan aspek-aspek nilai dan norma kemasyarakatan yang telah berjalan selama ini.

Sebagian masyarakat yang ingin mempertahankan kehidupan yang tetap stabil dan tidak ingin ada goncangan, perubahan yang dikehendaki bukan perubahan revolusioner akan tetapi perubahan evolusi, pelan tapi pasti. Perubahan kurikulum bisa dilakukan secara tambal sulam, yang perlu diubah yang diubah dan yang perlu --dijaga-- kelestariannya tetap dipertahankan. Pola semacam ini banyak dialami dalam proses perubahan kurikulum kita karena ada anggapan bahwa kurikulum ini masih relevan .

6. Psikologis
Landasan psikologis berkenaan dengan bagaimana belajar da-pat terjadi atau pendekatan macam apa yang dipakai untuk membantu proses belajar. Prinsip-prinsip belajar dan teori-teori belajar telah mem-berikan warna dan nuansa kegiatan pembelajaran. Pemilihan dan im-plementasi teori belajar telah mengubah wajah pelaksanaan proses pembelajaran dan bagaimana materi atau bahan ajar diterima dan di-konstruksi oleh siswa. Pemilihan atau seleksi isi materi ini berkenaan dengan minat dan motivasi belajar siswa. Isi materi atau bahan ajar ini sangat terkait dengan kurikulum. Penyajian atau penyampaian isi materi ini perlu mempertimbangkan aspek tujuan yang ingin dicapai atau kompetensi macam apa yang ingin diharapkan dimiliki oleh siswa, strategi atau metode, alat dan sumber serta waktu.

Pemilihan isi materi dalam kurikulum ini harus mempertimbangkan aspek usia dan jenjang belajar siswa . Dengan demikian, kompetensi yang dituntut dari setiap siswa berbeda dengan yang lainnya, termasuk juga tingkat penguasaanya.

Pemilihan atau seleksi isi bahan kajian atau pengalaman belajar mahasiswa sangat terkait dengan faktor psikologis, misalnya kebutuhan belajar, minat, motivasi, gairah belajar, dan kemampuan intelektual dan sebagainya.

BAHAN KAJIAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

1. Kurikulum sebagai curriculum policy
Secara sepihak kurikulum sebagai suatu proses politik. Dikata-kan sebagai proses politik karena kurikulum ini merupakan proses institusional. Pengambilan keputusan atau kebijakan tentang apa yang harus dibelajarkan tidak pernah didasarkan pada kajian rasional atau penelitian. Dan keputusan politis ini tidak dilandasi analisis kritis tentang bahan kajian dalam disiplin ilmu, kebutuhan masyarakat, atau kajian-kajian yang berkaitan dengan proses belajar peserta didik serta kebutuhannya. Alasan yang dijadikan landasan berdasarkan bahwa hal ini penting karena didasari otorisasi politis, siapa yang mengambil keputusan.

Apa yang tertuang dalam dokumen tertulis, buku pedoman un-iversitas atau fakultas dan apa yang seharusnya dibelajarkan dan me-rupakan kompilasi yang harus dikuasai oleh mahasiswa selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi.

2. Keputusan tentang Apa yang akan Diajarkan
Apa yang menjadi cita-cita ideal pengembang kurikulum adalah bagaimana memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik. Selama ini para mahasiswa atau para peserta didik lebih banyak mempelajari kurikulum yang lebih memfokuskan pada academic course (Lee, Croninger, & Smith, 1997).

Secara tradisional, bahwa kurikulum merupakan daftar topik atau pokok bahasan. Pandangan kurikulum semacam ini memberikan implikasi bahwa apa yang harus dipelajari oleh mahasiswa berangkat dari serentetan paket-paket mata kuliah atau pokok bahasan. Penggarapan kurikulum sebagai daftar topik, secara linier mengharuskan mahasiswa --menelan-- apa saja yang disajikan.

Apa yang dihayati dosen seolah-olah menjadi faktor penentu keberhasilan mahasiswa. Penyikapan tentang apa yang diberikan se-lama ini merupakan hal yang dianggap penting untuk membekali ma-hasiswa. Hargreaves (1994) menyatakan bahwa apa yang dipikirkan, diyakini, dan dilakukan dosen di kelas itulah yang menjadi pembentuk belajar mahasiswa.

Namun demikian, apa yang terjadi di kelas situasi dimana pen-galaman-pengalaman belajar dialami dan dilakukan oleh mahasiswa menjadi lebih penting. Pengalaman belajar mahasiswa sangat besar artinya dan mempunyai nilai fungsional manakala pengalaman ini dialami sendiri (learning by doing). Dalam pandangan teori konstruktivistik bahwa kurikulum ini sebagai "a mind expanding experience" (Eisner, 1997). Batasan kurikulum ini lebih mendasarkan pada apa yang sebenarnya dialami oleh mahasiswa di perguruan tinggi: pandangan-pandangan, kecenderungan-kecenderungan, keterampilan, sikap- yang berarti bahwa mahasiswa memiliki peran besar (McNeil, 1990) dalam menentukan sesuatu yang dipelajarinya.

PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pemilihan bahan kurikulum yang baik merupakan bagian penting dalam kaitan dengan proses pembelajaran secara keseluruhan. Para dosen yang merealisasikan isi dan kualitas bahan kajian (kurikulum) tersebut berpengaruh bukan hanya pada apa yang dipelajari mahasiswa tetapi juga bagaimana sebaiknya mereka mempelajarinya.

Berkenaan dengan pemilihan isi kurikulum tersebut, para pen-gembangan dan praktisi kurikulum perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar. Oliva (1992) mengemukakan beberapa prinsip dasar, yang disebut aksioma.
  1. Perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Masyarakat berkembang untuk mengadopsi dan mengadaptasi perubahan-perubahan yang ada di sekelilingnya. Perubahan ini untuk merespon masalah-masalah kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat, yang mencakup masalah lingkungan, nilai dan moralitas, keluarga, perubahan mikroelektronik, dunia kerja, persamaan hak, krisis masyarakat, kriminal, dan sebagainya.
  2. Kurikulum merupakan produk perubahan yang seiring dengan waktu. Perubahan selalu terjadi secara periodik berdasarkan alur waktu tertentu. Para perencana dan pengembang kurikulum perlu mengidentifikasi berbagai hal untuk membuat keputusan kurikulum pada masa mendatang.
  3. Perubahan secara konkurensi atau secara bersamaan dengan hal lain. Perubahan dalam suatu komponen kurikulum bisa terjadi perubahan pada komponen lain secara bersamaan. Atau, akhir dari suatu perubahan komponen menjadi awal bagi perbaikan kurikulum berikutnya.
  4. Perubahan kurikulum merupakan hasil perubahan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengembang kurikulum perlu mengawali perubahan dari sisi manusianya karena pada dasarnya merekalah yang justru mengubah kurikulum. Ini artinya ada upaya melibatkan orang-orang atau pihak-pihak yang terkait dalam proses pengembangan kurikulum.
  5. Perubahan kurikulum merupakan usaha bersama sekelompok orang. Perubahan kurikulum tidak bisa dilakukan secara terpi-sah-pisah, melainkan dilakukan secara berkolaborasi. Artinya dalam proses perubahan kurikulum melibatkan sekelompok orang yang memiliki peran dan tugas sendiri-sendiri.
  6. Perubahan kurikulum adalah proses pembuatan keputusan. Para perencana kurikulum bekerja sama untuk memilih dan menentukan disiplin, pandangan, tekanan, metode, dan organisasi kurikulum.
  7. Perubahan kurikulum merupakan proses berkelanjutan, never-ending process. Kurikulum selalu diperbaiki dan disempurnakan untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Kesempurnaan mutlak sebuah kurikulum tidak pernah terjadi, karena tuntutan atau dinamika selalu terjadi.
  8. Perubahan kurikulum merupakan proses yang menyeluruh atau komprehensif. Komprehensif ini meliputi bukan hanya melihat sisi peserta didik atau mahasiswa, dosen, orang tua, dan program-programnya saja tetapi juga melihat secara keseluruhan termasuk bentuk penyimpangan yang mungkin bisa terjadi.
  9. Perubahan kurikulum secara sistematik lebih efektif daripada hanya sekedar uji coba. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh dan sistematis. Perubahan yang tidak memperhatikan berbagai aspek atau unsur hanya akan membuang waktu, energi dan biaya. Perubahan kurikulum yang dilakukan secara coba-coba akan memberikan dampak negatif, terutama pada subjek didik dan masyarakat pengguna.
  10. Perubahan kurikulum dilakukan dengan memulai dari kurikulum yang ada. Pengembangan kurikulum tidak bisa hanya dilakukan semalam, atau sekedar membalik telapak tangan. Ada berbagai komponen perlu dipertimbangkan.
PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KEPUTUSAN KURIKULUM

1. Masyarakat
Masyarakat sebagai basis yang mendapat layanan hasil pendi-dikan memiliki arti strategis dalam ikut serta (berperan serta) dalam mengembang-kan kurikulum suatu lembaga. Masyarakat berperan se-bagai sumber-sumber informasi penting bagi reformasi atau pembaharuan kurikulum. Penyediaan sumber-sumber tersebut berupa kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat masyarakat setempat. Keterlibatan masyarakat ini memberikan kontribusi bagi perguruan tinggi dalam kaitan dengan penyerapan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Semakin besar keterlibatan masyarakat, semakin tingii resistensi perguruan tinggi terhadap masyarakat sekitarnya. Namun demikian, Schaffarzick (1976) menyatakan bahwa peran serta atau partisipasi masyarakat dalam kebijakan pengembangan kurikulum masih cenderung kecil, masih nampak acuh tak acuh, reaktif, dan masih superficial. Hal ini juga masih berlangsung hingga kini, bahwa masyarakat masih belum banyak berkiprah banyak dan belum diajak bicara soal pengembangan kurikulum.

2. Institusi
Keterlibatan institusi dalam pengembangan kurikulum menjadi pola pengembangan kurikulum selama ini. Tujuan lembaga melalui visi dan misi perguruan tinggi membentuk profil lulusan, adalah sesuatu hal dasar. Institutional-based system memerankan tugas utama dalam menjabarkan keputusan centralized-board system. Tidak dapat dipungkiri, kebijakan yang pemerintah pusat masih harus dijalankan lewat misi-misi perguruan tinggi, yang notabene masih harus mendidik warganegara beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Misi-misi tersebut masih harus menjadi perhatian pengembang kurikulum baik di tingkat pusat maupun di tingkat universitas/fakultas/jurusan. Institusi perlu menjabarkan misi tersebut walaupun harus mengurangi beban kredit (credit course) yang perlu dikuasai oleh mahasiswa.

Pengembang kurikulum di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan memberikan warna (coloring) tentang profil lulusan yang ingin dihasilkan. Keterlibatan staf akademik dalam menyiapkan lulusan sekaligus membentuk --wajah lulusan-- sangat strategis kedudukannya. Dikatakan strategis karena peran para dosen dan staf akademik ini secara langsung dapat memberikan kontribusinya bagi penyiapan para lulusan di tingkat universitas, fakultas, dan jurusan.

3. Instruksional/Pembelajaran
Melalui proses pembelajaran di kelas, para dosen dan mahasis-wa berinteraksi, pengembangan kurikulum menampakkan wujudnya. Proses belajar dan pengalaman pembelajaran di kelas merupakan pengejawantahan bahan kajian atau isi kurikulum. Keseluruhan proses-proses yang dilewati atau keberlangsungan interaksi dosen-mahasiswa memberikan dampak pembelajaran, instructional effect, yang secara langsung memberikan urunan bagi terbentuknya penguasaan (mastery learning). Tingkat penguasaan ini dapat diukur melalui alat ukur yang memiliki tingkat validitas dan reliabilitas tinggi. Di samping dampak langsung pembelajaran, proses pembelajaran memiliki dampak pengiring atau penyerta, nurturent effect, di mana dampaknya berupa pembentukan sikap dan perilaku misalnya menghargai pendapat orang lain, bersemangat, motivasi tinggi, minat belajar dan sebagainya.

4. Personal
Secara perorangan biasanya terkait dengan kepakaran sesorang dalam disiplin tertentu. Kepakaran dalam menguasai bidang tertentu sangat dibutuhkan dalam rangka menunjang dan meningkatkan relevansi kurikulum. Seseorang yang memiliki keahlian dan menaruh minatnya dalam pengembangan disiplin ilmu tertentu memiliki dampak pada tingkat validitas eksternal disiplin ilmu tersebut. Pengembangan bidang atau disiplin di suatu fakultas menuntut adanya pihak-pihak tertentu baik secara kolegial maupun perseorang untuk bekerja saling membantu dalam memajukan disiplin bidang tersebut. Karena bidang garapan disiplin ilmu tertentu menuntut keahlian yang dimiliki oleh orang lain di luar bidang tersebut.

DIFERENSIASI KURIKULUM
  1. Kurikulum ideal. Harapan-harapan dan rekomendasi yang dipikirkan oleh para ahli, kelompok pemerhati, masyarakat, dan pemerintah agar lembaga pendidikan mampu mengikuti arus perubahan perlu diakomodasikan dalam penyusunan kurikulum. Berbagai harapan dan rekoemendasi yang diajukan, misalnya perlu adanya kurikulum yang memuat pendidikan etika, kurikulum bagi anak yang cerdas, kurikulum bagi multiple intelligence, dan sebagainya perlu segera diwadahi. Bahkan pemerintah dianjurkan merancang kurikulum yang dapat memenuhi pangsa pasar, sehingga lulusannya dapat bekerja setelah menyelesaikan studinya. Kurikulum ideal ini memuat cita-cita dan tujuan nasional dan masyarakat/negara sehingga kurikulum ini mengandung system nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat.
  2. Kurikulum formal. Kurikulum formal sebagaimana tertuang dalam Garis-gasris Besar Program (GBPP). Kurikulum formal berisi muatan isi bahan kajian yang perlu belajarkan dan apa yang ingin dicapai oleh program studi (prodi) tertentu. Kurikulum formal ini berupa pengalaman belajar tertulis (written curriculum) yang didokumentasikan di program studi, yang dalam kurun waktu tertentu harus dicapai oleh mahasiswa. Dokumentasi kurikulum yang memuat tujuan kurikuler, bahan kajian dan pengalaman belajar, media dan sumber, serta taksiran waktu yang diperlukan untuk menyajikan kurikulum formal tersebut.
  3. Kurikulum yang dihayati dosen. Apa yang dialami dan dihayati oleh setiap dosen tentang kurikulum formal memunculkan interpretasi atau penafsiran yang beragam. Setiap dosen atau pengajar memiliki interpretasi tentang kurikulum formal yang beraneka ragam. Dalam prakteknya, setiap dosen memiliki tingkat keputusan tentang apa yang diajarkan dan harus dicapai oleh peserta didik. Penghayatan yang berbeda dari seorang dosen dengan dosen lain, apabila tidak tidak dilakukan shared-experience, akan melahirkan diferensiasi implementasi kurikulum. Yang pada gilirannya, pengalaman belajar yang ditularkan kepada mahasiswa akan bervariasi. Akibat lebih jauh, mahasiswa akan mendapat pengalaman belajar yang sama sekali berbeda dan bahkan akhirnya jauh dari tujuan yang diinginkan.
  4. Kurikulum Operasional. Kurikulum operasional ini berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi atau berlangsung di dalam konteks kelas. Implementasi kurikulum di tingkat kelas ini berupa interaksi antara dosen-mahasiswa, atau penggalian pengalaman dilakukan sendiri oleh mahasiswa melalui bahan kajian/modul yang dipelajarinya. Apa yang dipikirkan atau dihayati dan dialami oleh dosen dalam implementasi di kelas kadangkala terjadi ketidaksejalanan. Semakin kaya pengalaman belajar yang didapatkan oleh mahasiswa melalui interaksi di kelas, semakin banyak kesempatan belajar yang didapat oleh mahasiswa.
  5. Kurikulum Eksperensial. Kurikulum esperiensial ini berdasarkan pengalaman nyata ma-hasiswa di kelas. Apa yang sebenarnya mereka peroleh dan pikirkan melalui penghayatan (interaksi) di kelas. Pengalaman belajar mahasiswa berkaitan dengan latar belakang mahasiswa, dan inilah yang memiliki kontribusi banyak bagi perolehan (gained) mahasiswa di samping hasil interaksinya dengan dosen.
PENUTUP
Perubahan kurikulum baik sebagian maupun keseluruhan selalu dibutuhkan karena perubahan itu memang menjadi bagian dari dinamika pendidikan. Disadari atau tidak, bahwa pendidikan itu tidak lain adalah politik karena ditetapkan melalui kehidupan tatanan berbangsa dan bernegara, melalui ketetapan majelis. Pada gilirannya, kurikulum juga menjadi bagian dari proses pilitik tersebut mengingat kurikulum merupakan keputusan nasional dan institusional.

Pihak-pihak yang terkait dan melibatkan diri dalam proses-proses perubahan kurikulum menaruh perhatiannya pada perbaikan dan peningkatan kualitas hasil yang lebih baik. Perhatian dan kepedu-lian ini diwujudkan dalam bentuk keterlibatan aktif dan partisipasi dalam memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum.

DAFTAR BACAAN
Eisner, E.W. (1997) Cognition and Representation. Phi Delta Kappan.
78. (5) 349-353.

Hargreaves, A. (1994) Changing Teachers, Changing Times.
London:Cassell.

McNeil, J.D. (1990) Curriculum: A Comprehensive Introduction. Glen-view, IL: A Division of Scott, Foresman and Company.

Oliva, P.F. (1992) Developing the Curriculum. New York: Harper Collins Publishers.

Schaffarzick, J. (1976) Teachers and Lay participation in Local curricu-lum Change Considerations. Paper presented at the American Educational Research association Annual Meeting. San Fransisco, CA.